Wednesday, October 14, 2015

KEBERPIHAKAN HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

 BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Kata keadilan merupakan hal yang diinginkan oleh mayoritas manusia di dunia ini. Akan tetapi ternyata keadilan, yang dalam makalah ini merupakan keadilan yang dihasilkan melalui keputusan pengadilan. Beberapa kasus menunjukkan betapa ternyata banyak pihak-pihak yang berperkara menyatakan sangat tidak puas, dan merasa bahwa keputusan para hakim tidak adil, meskipun ternyata klaim-klaim seperti ini tidak hanya muncul dari satu faktor saja, akan tetapi ini merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor.

Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini muncul dari beberapa hal baik, hal inilah yang akan kami coba uraikan pada makalah ini, dengan tidak mengesampingkan beberapa contoh yang akan bisa membantu untuk memahami kondisi dan peluang keberpihakan hukum tersebut. Tentu saja dalam melihat bagaimana kondisi peradilan di Indonesia, khususnya peradilan agama, kita harus lebih memfokuskan analisa kita terhadap kondisi yang ada dan aktual. Dengan begitu, akan bisa didapatkan faktor-faktor apa saja yang memberikan peluang untuk munculnya keberpihakan dalam hukum. Kapan dan bagaimana munculnya keberpihakan hukum tersebut, kepada siapakah hukum ini berpihak, dan lain sebagainya adalah hal yang akan kami coba uraikan dalam makalah ini.

B.       Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah keberpihakan hukum perundang-undangan yang terjadi di indonesia.

C.      Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberpihakan hukum dalam perundang-undangan indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Tujuan hukum

Dilihat dari mekanisme pembentukannya maka dapat dikatakan bahwa hukum bertujuan sebagai alat negara untuk menentramkan rakyatnya dari rasa takut dan dengan  demikian menciptakan ketentraman dan keserasian dalam masyarakat. Dengan demikian, Hukum tidak dapat dipisahkan dari negara sehingga secara Mutatis Mutandis tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara, kapan kekuasaan negara itu terbentuk?, kekuasaan negara terbentuk dari proses politik yang jika kita terjemahkan ke Indonesia proses politik tersebut dibentuk 5 tahun sekali pada proses pemilu. Proses politik melalui pemilu inilah yag kemudian menjadi sebuah proses pembentikan hukum pada proses berikutnya.

Pada wilayah penegakan hukum, kita tidak dapat melepaskan diri dari proses pembentukan hukum/undang-undang, walaupun beberapa ahli banyak yang berpandangan bahwa sebuah peraturan perundang-undangan dalam proses pembentukannya memang merupakan sebuah proses politik, tapi pada proses penerapannya harus dipahami sebagai sebuah proses yang independen. Sebuah pengalaman yang sering penulis alami dalam melakukan pendampingan kasus pidana bahwa sebuah tindak pidana yang sudah merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk melakukan penyelidikan/ penyidikan dan merupakan kewajiban bagi kepolisian untuk menegakkan hukum sesuai dengan kewenangannya, namun dalam beberapa kasus, kepolisian tidak akan menindaklanjuti proses sesuai aturan apabila tidak didesak.

Apabila kita berpandangan bahwa, proses penerapan hukum senantiasa independen dan tanpa interpensi, maka sudah seharusnya hakim tidak perlu menyatakan bahwa peradilan terbuka untuk umum, karena sesungguhnya persidangan yang terbuka untuk umum merupakan bentuk pertanggung jawaban pengadilan kepada masyarakat. Untuk itu dalam proses apapun, baik itu pada wilayah pembentukan hukum hingga  penerapannya tidak dapat dilepaskan dari interpensi dalam bentuk apapun, karena hukum hidup tidak dalam ruang hampa.

B.       Pengertian Kelas dan Pembentukan Kekuasaan

Mari kita belajar dari beberapa undang-undang yang jika dikaji merupakan sebuah peraturan yang menguntungkan suatu kelas tertentu dalam masyarakat, dan kemudian menyingkirkan kelas tertentu pula.

Perlu penulis bahas secara singkat apa yang penulis maksud dengan “kelas” Dalam hal ini kelas yang penulis maksud adalah kelas yang menurut Marxisme sebagai posisi sesorang/masyarakat terhadap faktor-faktor produksi, kelas yang penulis maksudkan bukanlah tentang kaya atau miskin, karena kaya ataupun miskin menurut Marxisme ditentukan oleh kedekatan seseorang terhadap faktor-faktor produksi, faktor-faktor produksi yang dimaksud oleh marx adalah tiga komponen penentu pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu alat kerja, tenga kerja,  dan lahan kerja faktor-faktor produksi inilah yang dimaksud dengan Modal (Kapital)

Untuk memudahkan, mengerti tentang kelas yang penulis maksud disini penulis akan memberikan contoh sebagai berikut: Kita contohkan antara buruh dan pengusaha, buruh merupakan kelas yang tidak memiliki faktor-faktor produksi, sementara pengusaha memiliki/memonopoli faktor-faktor produksi, kita tahu bahwa sesorang yang tidak memiliki faktor-faktor produksi berarti tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk itulah seseorang yang tidak memiliki faktor-faktor produksi tersebut dengan terpaksa harus menjual tenaganya kepada yang memiliki faktor-faktor produksi[1].
Tentunya, tujuan pengusaha tersebut tidak semata untuk memuluskan proses bisnisnya, tapi lebih dari itu menginterpensi pembentukan kebijakan pada wilayah regulasi (pembentukan undang-undang).

Begitulah proses kelas bekerja hingga terbentuknya sebuah regulasi, proses politik kekuasaan kelaslah yang menentukan pembentukan hukum, walaupun beberapa ahli mengatakan bahwa hukum itu tidak hanya yang tertulis, tapi perlu diingat bahwa kebanyakan penegak hukum Indonesia masih sangat normatif dalam menegakkan hukum.

Kita sering melihat bagaimana penetapan kawasan hutan lindung secara semenah-menah mengakibatkan penduduk yang sebelumnya mendapatkan makan dari hasil hutan harus diusir (setahu penulis masyarakat dengan kemampuan teknologi pengelolaan hutan yang terbatas tidak akan memperburuk pemeliharaan hutan), sementara pembabatan hutan oleh pemegang (pengusaha) HPH tidak tersentuh sama sekali, malah dibiarkan dengan alasan mereka telah memenuhi syarat karena telah mengantongi HPH. Yang perlu ditanyakan adalah proses pembuatan regulasi yang membolehkan pengelolaan hutan oleh pemegang HPH adalah siapa?, dan peraturan yang dengan semenah-menah menetapkan kawasan hutan lindung dan menjauhkan masyarakat dari proses lingkungannya adalah siapa?.

Dengan demikian Hukum adalah salah satu alat rejim penguasa dalam mempertahankan kekuasaan kelasnya. Kelas berkuasa memanfaatkan segala tenaga dan upaya untuk menjaga posisi kelasnya, termasuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berdiri jauh dari intervensi  masyarakat secara umum. Dari sini, negara membuat sebuah sistem hukum untuk mengikat masyarakat agar tidak berniat untuk merebut kekuasaan. Hal di atas dapat kita gunakan untuk menganalisis konteks hukum Indonesia hari ini, banyak sebuah peraturan hukum yang dibuat sebenarnya sangat jauh dari kondisi masyarakat.

Buktinya dapat kita lihat dari berbagai kebijakan yang dikembangkan negara ini, dari mulai kebijakan ekonomi, politik,  pengembangan budaya, sampai peraturan hukum semua ditujukan untuk bagaimana memperlihatkan penghambaan negara Indonesia terhadap modal baik lokal maupun internasional. Pengembangan sistem hukum di Indonesia semua diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan bos-bos mereka yang tegabung dalam perkumpulan negara-negara G-8.

Produk hukum seperti Undang-Undang Penanaman Modal 2007, Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003, PERPU Kawasan Ekonomi Khusus 2007, Undang-Undang BHP, semuanya tidak lepas dari sebuah kebijakan yang lebih menguntungkan korporat-korporat Internasional yang dipaksakan melalui IMF dan WTO juga menuntungkan korporat nasional.

Konstitusi negara kita telah mengatur tentang kesamaan setiap warga negara di mata hukum, tapi kenyataannya sistem hukum yang dibangun di Indonesia tidaklah seperti itu. Seorang pencopet misalnya, yang hanya merugikan satu orang harus mendapatkan perlakukan yang tidak setimpal dengan perbuatannya. Bandingkan dengan seorang koruptor yang telah merugikan ribuan masyarakat Indonesia dihukum dengan hukuman penjara yang tidak begitu lama, sudah begitu mendapatkan penjara yang sejuk dan ber-AC, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang tidak dapat dijerat hukum (kebal hukum). Hal tersebut adalah contoh kecil keberpihakan sistem hukum indonesia.

C.      Pembuatan Hukum Tanpa Kontrol Masyarakat

Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa sistem hukum Indonesia diarahkan untuk sebuah kepentingan proyek besar pemerintah yang sering disebut kebijakan neoliberal.  Hal ini diakibatkan oleh sebuah proses pembuatan hukum yang berjalan tanpa adanya kontrol masyarakat secara luas.

Partisipasi masyarakat dalam politik, yang pada akhirnya akan melahirkan sejumlah kebijakan dan hukum, ditentukan melalui proses Pemilihan Umum (Pemilu) setiap empat tahun sekali.  Masyarakat yang tidak sadar dimobilisasi untuk memilih para wakil rakyat yang akan membuat sebuah peraturan hukum. Setelah itu, selesai sudah proses kontrol masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat pada semakin leluasanya pemerintah negeri ini untuk berbuat apa saja yang mereka inginkan dalam proses pembuatan peraturan hukum, maupun dalam menjalankannya.

Sementara itu, pemerintah juga membatasi masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan dengan berbagai aturan-aturan hukum yang mereka tetapkan sendiri. Bahkan, mereka juga mengebiri organisasi gerakan rakyat yang selama ini mengontrol kekuasaan karena semua harus berada dalam jalur hukum yang telah mereka buat. Parahnya karena kontrol terhadap peraturan yang mereka buat dilakukan oleh “mereka-mereka” juga, peran masyarakat dalam kontrol pelaksanaan peraturan sangatlah kecil sehingga memungkinkan terjadinya penyelewengan hukum di mana-mana. Inilah yang menyebabkan sistem hukum kita lebih berpihak pada korpporat-korporat asing, karena sangat terbuka peluang untuk mengadakan kongkow-kongkow dengan para korporat tersebut.  Tidaklah heran bila korupsi semakin berkembang di negeri ini, yang tidak hanya melibatkan eksekutif dan legislatif tapi juga melibatkan para penegak hukum.

D.      Mempertegas Kontrol Masyarakat

Hukum adalah produk politik, siapa yang berkuasa pada kekuasaan politik, dialah yang memegang peran dalam setiap pengambilan kebijakan yang ada. Di negara kita (bahkan di negara manapun itu di belahan dunia ini) proses pengambilan kebijakan ditentukan oleh posisi politiknya. Tidak akan ada sebuah produk hukum yang berkeadilan tanpa dilandasi oleh sebuah sistem politik yang demokratis, sementara kekuatan politik Indonesia didominasi oleh mereka yang pro kebijakan neoliberal, sehingga kebijakan hukum negara inipun selalu berpihak pada pemilik modal. Hegemonisasi kapitalisme yang semakin massif dipasok, entah itu dengan ilusi politik liberal maupun dengan hegemoni media-media kapitalis yang selama ini banyak berperan dalam pembentukan opini publik, juga telah memberikan ilusi keadilan bagi masyarakat. Maka untuk merubah sebuah sistem hukum agar menjadi berkeadilan, sebuah kontrol masyarakat mutlak dibutuhkan. Ini untuk mencegah sebuah pemerintahan yang berjalan dan mengambil tindakan sendiri. Selain itu, kita harus berbesar hati mengakui bahwa kelompok progresif Indonesia (yang selama ini melakukan kontrol) sejauh ini hanya membatasi gerakan mereka dalam mengkritisi kebijakan, tanpa berusaha lebih jauh terlibat dan mendorong kesadaran masyarakat ke dalam proses pembuatan kebijakan. Hal yang paling penting adalah kekuatan melawan hegemoni yang dilakukan oleh kelompok progresif tidak mampu menyaingi hegemonisasi negara. Untuk itu, kelompok progresif penting memiliki sebuah media yang mampu menjangkau hingga ke pelosok dalam memasok kesadaran sejati bagi rakyat.

E.       Peluang Munculnya Keberpihakan Hukum.

Di tengah-tengah berbagai pemberantas kejahatan, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum di Indonesia. Berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Mafia peradilan marak dituduhkan. Hukum seolah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaan tertentu kerap melakuan proses pengadilan jalanan. Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan, “mengapa hukum sulit ditegakkan?” Bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya “apakah hukum di Indonesia sudah mati?”.

Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.

Dalam melihat peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita bisa menganalisa beberapa faktor terkait, seperti politik hukum, sistem hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
1.         Politik Hukum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa politik hukum Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan kemakmuran, ketertiban dan kepastian hukum.[2] Politik hukum juga akan memberikan ruang dan peluang untuk mengarahkan kepada siapakah hukum akan berpihak.

Tiga fungsi hukum, social enginering, alat justifikasi dan social control[3] tampaknya perlu juga mendapatkan perhatian. Bagaimanapun juga, keinginan para pembuat hukum untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu kondisi dengan hukum mungkin akan ternodai dengan kepentingan pribadi atau kelompok.

2.         Sistem Pembuatan Undang-Undang.
Idealnya pembuatan hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat.[4] Akan tetapi ketika hak untuk membuat dan menetapkan hukum ini ada ditangan para wakil rakyat, maka hukumpun bisa jadi tidak mencerminkan nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat, akan tetapi seperti pada faktanya di Indonesia, hukum merupakan kesepakatan pembuat hukum yang berlabel wakil rakyat, meskipun pada sebagian oknum, fungsinya bukan sebagai wakil rakyat.
Dengan begitu, peluang untuk munculnya keberpihakan hukumpun muncul dalam proses ini. Kepentingan-kepentingan individual ataupun kelompok pembuat hukum bisa jadi memunculkan hukum yang pandang “bulu”.

Dalam pemilihan nilai-nilai ini, akan sering terjadi konflik antara pembuat hukum. Dalam hal ini, menurut Chambliss, ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam pembuatan hukum:
1.        Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana negara merupakan senjata ditangan lapisan yang berkuasa.
2.        Sekalipun terdapat pertentangan nilai, mungkin saja mereka yang berpartisipasi dalam hal ini bisa tetap dipandang sebagai seorang yang netral.[5]

Bila dalam proses pembuatan hukum ini muncul peluang keberpihakan hukum, maka mereka yang ingin menyelewengkan hukum bisa mendekati dan mempengaruhi tim pembuat hukum agar hukum yang ditetapkan nantinya sesuai dengan kepentingannya.

Selain itu juga ternyata pada faktanya, suatu penetapan hukum belakangan bisa menjadi peluang untuk munculnya keberpihakan hukum. Bila seseorang diputus menjalani hukuman penjara selama 20 tahun, akan tetapi beberapa tahun setelah keputusan itu ditetapkan, diaturlah undang-undang yang menetapkan bahwa terpidana penjara akan mendapatkan keringanan hukum bila berlaku baik. Apakah undang-undang ini tidak dibuat untuk kepentingan seseorang saja?

3.         Sistem Peradilan.
Dalam hal ini, kami lebih cenderung untuk mengangkat sistem peradilan pidana, karena dalam peradilan inilah keberpihakan hukum lebih banyak disorot. Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Pada umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut: (1)penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan; (2) penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan ; (3)penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan (4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana[6].

Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

Kenyataannya, peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitu kepolisian-kejaksaan-pengadilan dan lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice administration".

Sistem penunjukan hakim atau majlis hakim oleh ketua pengadilan di setiap tingkat pengadilan juga merupakan salah satu peluang untuk munculnya keberpihakan hukum. Hak absolut untuk menunjuk hakim atau majlis hakim yang akan mengadili sebuah perkara ada di tangan ketua pengadilan, maka dengan begitu, mereka yang ingin melakukan penyimpangan-penyimpangan prilaku peradilan bisa memanfaatkan momen ini. Bila polisi dan jaksa tidak mau bersikap koperatif terhadap tindak pidana yang akan diajukan ke meja hijau, maka peluang yang muncul untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan peradilan, seperti menyogok, bisa meminta ketua pengadilan bagaimnapaun caranya agar menunjuk hakim yang kemungkinan berpihak kepadanya.

Bila hak absolut penunjukan hakim ada di tangan ketua pengadilan, maka begitu juga dengan penunjukan jaksa penuntut umum yang ada di tangan ketua kejaksaan di setiap tingkatnya. Peluang keberpihakan hukumpun akan muncul di sini.

F.       Problem Dalam Menegakkan Hukum Tanpa Keberpihakan.

Ada beberapa problem yang akan dihadapi oleh masyarakat dalam mewujudkan hukum tanpa keberpihakan. Beberapa diantara problem tersebut kami uraikan sebagai berikut: Pertama, sulitnya penegakan hukum berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau tidak. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di Indonesia bahkan menjadi UU mati[7].

Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dan dianggap sebagai komoditas. Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum, sepanjang trade off telah didapat.

Selanjutnya, problem muncul karena masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan. Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak.  Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman[8].

Problem selanjutnya sebagai penyebab keberpihakan hukum adalah pengaruh uang. Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap. Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan. Di institusi peradilan, uang berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang, hukuman bisa diatur agar serendah dan seringan mungkin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan uang juga berpengaruh karena yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi.

Problem berikut adalah penegakan hukum telah menjadi komoditas politik. Pada masa pemerintahan Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.

Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi pesakitan.

Problem lain terkait dengan sumber daya manusia. Di awal kemerdekaan, institusi hukum diisi oleh sumber daya manusia yang terbaik kala itu. Tidak sedikit dari hakim ataupun jaksa menjadi guru besar di berbagai fakultas hukum universitas ternama. Profesi hakim dan jaksa sangat dihormati.

Penghasilan profesi hakim dan jaksa ketika itu sangat baik bila dibandingkan dengan advokat. Namun pada tahun 1970-an, dunia keadvokatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kompensasi yang didapat sebagai advokat jauh melebihi hakim dan jaksa. Akibatnya, para lulusan terbaik dari universitas ternama cenderung ingin menjadi advokat dan menjauhkan diri dari profesi hakim dan jaksa. Ini berarti banyak sumber daya manusia yang baik dan memiliki integritas lebih memilih bekerja di sektor swasta, sementara yang biasa-biasa dari segi kemampuan dan integritas akan memasuki sektor publik.

Bila sektor publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas maka penegakan hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan peranan uang dalam penegakan hukum. Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia advokat dapat dibedakan antara advokat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi, pendeknya advokat yang tahu koneksi. Mengingat tipologi masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila berhadapan dengan hukum mereka lebih suka dengan advokat yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. Mafia peradilan pun terpicu untuk terjadi.

Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah penganggaran bagi infrastruktur hukum oleh negara tidak dialokasikan secara memadai. Insitusi pengadilan yang seharusnya menunjukkan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan, bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan ke-angkeran-nya.

Problem berikutnya adalah, disadari ataupun tidak, penegakan hukum di Indonesia telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers. Tentu ini positif, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah dampak sesaatnya. Timbul tenggelamnya penegakan hukum terhadap suatu kasus seolah bergantung pada media massa. Tidak dapat dihindari kesan bahwa penegakan hukum sebatas apa yang diselerakan oleh media massa. Adalah bukan suatu harapan bila penegakan hukum sekedar dikendalikan oleh pers .

G.      Reformasi Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan Tanpa Keberpihakan.

Dari semua uraian diatas, akhirnya kami menyimpulkan bahwa dunia hukum Indonesia membutuhkan reformasi hukum, atau meluruskan dan menjalankan reformasi yang telah digagas sebelumnya. Ada beberapa konsep dan gagasan reformasi hukum dalam menuju hukum tanpa keberpihakan. Gagasan dan konsep ini kami simpulkan dari berbagai sumber.

Pada dasrarnya, hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat yang damai dan adil. Jika ketertiban umum harus merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil, sesuai pengertian keadilan sebagai substansi dari tertib hukum dan ketertiban hukum, sehingga fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan. Adil tidak adilnya hukum ditentukan oleh sikap yang diambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil mengandung arti yang sama bagi setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum, ini tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat perbedaan kekuasaan yang besar dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka ragam bentuk dan variasinya.

Kita mungkin menghendaki adanya suatu penegakan hukum di Indonesia yang betul-betul berpihak kepada rakyat kecil. Namun, ternyata kita mengetahui bahwa penerapan hukum di mana pun di dunia ini selalu tidak berpihak pada rakyat kecil yang miskin, "Laws grind the poor, and rich men rule the law" - Hukum melindas yang miskin, sementara yang kaya mengatur hukum-dan "Laws like spider's web; if some poor weak creature come up against them, it is caught; but a bigger one can breakthrough and get away" - Hukum seperti sarang laba-laba; bila yang miskin dan lemah datang melawan, maka akan terjaring; tetapi yang besar dapat menerobos dan lolos. Bahkan di Indonesia telah lama terdengar plesetan KUHP sebagai "Kasih Uang Habis Perkara".

Yusuf Leonard Henuk, dalam artikelnya, mengemukakan cara untuk mewujudkan hukum yang adil tanpa keberpihakan bahwa kapan saja bila ketiga komponen peradilan pidana di Indonesia (kepolisian, kejaksanaan, pengadilan) melaksanakannya secara jujur dan terbuka (trial and fair) maka penegakan hukum yang benar dan adil yang bertitik tolak dari postulat peradilan, kemasyarakatan, kepatutan akan tercapai.[9] Hanya penegakan hukum yang mengandung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan yang dapat mencapai kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Penegakan hukum bukan semata-mata menegakkan peraturan perundang-undangan dan hukum saja, tetapi harus ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), alasannya adalah sesuatu yang wetmatig (legal) belum tentu rechvaardig (justice); sesuatu yang rechmatig (lawful) belum tentu rechvaardig (justice). Akan tetapi sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan, pasti mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan

H.      Konsep Reformasi Hukum

Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain:
1.        Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara
2.        Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
3.        Aparatur penegak hukum yang profesional.
4.        Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
5.        Pemajuan dan perlindungan HAM.
6.        Partisipasi publik.
7.        Mekanisme kontrol yang efektif.

Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang meliputi:[10]
1. Struktur Hukum
Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.

2. Substansi Hukum.
Substansi hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.

3. Budaya Hukum.
Budaya hukum ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri[11].
Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
1.        Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas.
2.        Perumusan kembali hukum yang berkeadilan.
3.        Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum.
4.        Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum.
5.        Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum.
6.        Penerapan konsep Good Governance.

Banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Sebagian telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif, hanya memadai untuk sesaat, tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan, sekedar untuk memenuhi suatu kebutuhan, bahkan diadopsi agar pemerintah mendapat dukungan publik[12].

Ada beberapa fundamen yang harus diperhatikan menurut beberapa tokoh hukum, dalam mewujudkan hukum yang mempunyai keadilan. Solusi dibawah ini adalah solusi yang lebih konkrit yang ditawarkan oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal berbagai problem yang ada karena penyangkalan sama saja menjadikan apapun solusi menjadi tidak relevan.

Fundamen kedua bagi solusi adalah pembenahan memerlukan kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi ‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya, solusi demikian tidak memberikan hasil, justru menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum.

Fundamen berikut adalah problem yang dihadapi harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum.

Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial.

Fundamen keempat adalah kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Mengedepankan kesejahteraan harus dilihat sebagai fundamen dari solusi dengan dua tujuan. Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas ternama.
Selanjutnya, untuk menghindari kesan tebang pilih perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten. Fundamen kelima adalah upaya membersihkan institusi hukum dari personil nakal dan bermasalah. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia adalah takut pada hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewengan jabatan dengan mekanisme yang dapat bekerja dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

Fundamen berikutnya adalah pembenahan pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terkait dengan manusia. Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi yang sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan. Bila tidak, akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa dendam atau perlawanan.

Terakhir, dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum. Partisipasi publik harus dilakukan secara bottom up, bila perlu dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.

Menurut Dr. Pagar Hasibuan, seorang pakar hukum Islam di Medan, bahwa salah satu cara untuk mengurangi keberpihakan hukum ini adalah dengan mengusahakan jalan damai bagi pihak-pihak yang berperkara. Karena dalam perdamaian diharapkan kedua pihak akan saling share tentang jalan keluar yang akan mereka dapatkan. Teori “keadilan tanpa peradilan” adalah sebuah teori yang pantas dilaksanakan dari pada peradilan tanpa keadilan, akan tetapi tentu saja idealnya adalah keadilan dengan peradilan[13].

Masih menurut beliau, bahwasanya keberpihakan hukum memang akan terus terjadi dan harus terjadi, akan tetapi keberpihakan ini adalah keberpihakan semua pihak terhadap hukum atau kebenaran, bukan keberpihakan pihak terhadap kemenangan dan bukan pula keberpihakan hukum terhadap salah satu pihak atau lebih.


BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Hukum bertujuan sebagai alat negara untuk menentramkan rakyatnya dari rasa takut dan dengan  demikian menciptakan ketentraman dan keserasian dalam masyarakat. Sistem hukum Indonesia diarahkan untuk sebuah kepentingan proyek besar pemerintah yang sering disebut kebijakan neoliberal. Hal ini diakibatkan oleh sebuah proses pembuatan hukum yang berjalan tanpa adanya kontrol masyarakat secara luas. Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.  Dalam melihat peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita bisa menganalisa beberapa faktor terkait, seperti politik hukum, sistem hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.

Beberapa Faktor terjadinya keberpihakan hukum.
1.        Sulitnya penegakan hukum berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat.
2.        Peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis
3.        Problem muncul karena masyarakat indonesia terutama yang berada di kota-kota besar merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan.
4.        Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap


 DAFTAR PUSTAKA


Amirrudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Grafiti Press. 2006.
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia (Jakarta: Bulan Bintang 1987) h. 32.
Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan (Bndung: Gema Insani Press, 1995) h. 24.
Budiono Kusumohamidjojo. Ketertiban yang Adil:Problematika Filsafat Hukum. Grasindo: Jakarta. 1999
Drs. H. Malayu, S.P. Hasibuan, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Cetakan 9. PT. Bumi Aksara.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981) h. 48. tentang SKP3 Soeharto lihat A. Umar Said, SKP3 Soeharto Tidak Sah, Penuntutan Harus Dilanjutkan. Artikel dalam www.hukumonline.com, tanggal 15 juni 2006, didownload pada 11 Desember 2006. sedangkan tentang kasusu keringanan Tommy Suharto lihat, Jawa Pos, Tomy Suharto Bebas Keluar Negeri, edisi 1 november.




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I    PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang............................................................................ 1
B.       Permasalahan............................................................................... 1
C.       Tujuan.......................................................................................... 1

BAB II   PEMBAHASAN
A.      Tujuan hukum.............................................................................. 2
B.       Pengertian Kelas dan Pembentukan Kekuasaan......................... 2
C.       Pembuatan Hukum Tanpa Kontrol Masyarakat.......................... 4
D.      Mempertegas Kontrol Masyarakat.............................................. 5
E.       Peluang Munculnya Keberpihakan Hukum. ............................... 5
F.        Problem Dalam Menegakkan Hukum Tanpa Keberpihakan....... 8
G.      Reformasi Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan Tanpa Keberpihakan.        10
H.      Konsep Reformasi Hukum.......................................................... 11

BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan.................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA




[1]  Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992) h. 142.
[2]  Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan (Bndung: Gema Insani Press, 1995) h. 24.
[3]  Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia (Jakarta: Bulan Bintang 1987) h. 32.
[4]  Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981) h. 48.
[5]  Ibit.
[6]  Ibid
[7]  Eddy Satria, Reformasi Telah Gagal. Artikel dalam Majalah Forum Keadilan, edisi 04 Juni 2006.
[8]  Dodik Setiawan, Kondisi Hukum Indonesia.
[9]  Yusuf Leonard Henuk, Kapan Hukum Berpihak Kepada Rakyat
[10]  Ibid.
[11]  Amirrudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Grafiti Press. 2006.
[12]  Budiono Kusumohamidjojo. Ketertiban yang Adil:Problematika Filsafat Hukum. Grasindo: Jakarta. 1999
[13]  Drs. H. Malayu, S.P. Hasibuan, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Cetakan 9. PT. Bumi Aksara. 

0 comments: