Wednesday, October 14, 2015

HUKUM SEBAGAI PRODUK KEPUTUSAN

 BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Kadang-kadang, subjek hukum yang terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms).

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam makalah ini adalah bagaimanakah makna hukum sebagai produk sebuah keputusan.

C.      Tujuan

Tujuan  dalam  makalah  ini adalah mengetahui makna hukum sebagai produk keputusan.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Makna Hukum Sebagai Produk Keputusan

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Kadang-kadang, subjek hukum yang terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms).

Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) tersebut biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) atau pun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazim-nya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan tersebut, dapat dibedakan dengan istilah:
1)        Pengaturan menghasilkan peraturan (regels).
Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak di-sebut dengan istilah lain kecuali “peraturan”;
2)        Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah “penetapan” untuk sebutan bagi keputus-an-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “Ke-tetapan” yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya; dan
3)        Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap”, dan “aturan” yang berasal dari “atur”. Namun, karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan judisialhakim atas perkara yang diadili disebut putusan.

Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of libertyof the souvereign people). Namun demikian, cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat untuk umum, apabila para wakil rakyat sendiri telah memberikan persetujuannya dalam undang-undang.

Karena itu, apabila mendapat pendelegasian kewenangan, cabang kekuasaan eksekutif dan judikatif juga dapat membuatperaturan, sehingga dapat dikatakan bahwa kewenangan mengatur itu juga dimiliki baik (a) oleh cabang kekuasaan legislatif, (b) cabang kekuasaan eksekutif, maupun (c) oleh cabang kekuasaan judikatif. Oleh karena itu, di samping menetapkan putusan (vonnis), pengadilan juga memiliki kewenangan regulasi yang dapat juga disebut sebagai ‘judicial legislation’. “Judicial legislation” dapat diartikan dengan pernyataan, “It is the rule-making powerof the superior courts for the regulation of their own proced true form of legislation except that it cannot create new law by way of precedent”[4]1.

Demikian pula cabang kekuasaan eksekutif juga mempunyai kewenangan regulasi yang dapat pula disebut sebagai “executive legislation” yang menurut Mian Khurshid, “It is the legislationby the executive for conducting the adminsitrative departments of a State”.“Executive legislation”itu merupakan peraturan yang dibuat oleh eksekutif untuk menjalankan roda peme-rintahan negara.“Where the Act does not contain the whole legislation but delegates to a foreign authority to legislate in the matter, it is subordinate or delegated legislation. There has grownup a practice whereby the statuteconfines itself to the general provisions and leaves the details to be worked out in departmental regulations operating under the statute. Such regulations furnish examples of subordinate or delegated legislation”2. Sudah menjadi kebiasaan umum di dunia bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen hanya mengatur garis besar ketentuan yang diperlukan, sedangkan rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh pihakeksekutif sendiri yang lebih mengetahui rincian persoalan yang perlu diatur.
Dalam sistem preseden (common law), putusan hakim (vonnis) menjadi sumber hukum yang utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakim yang terkemudian. Namun, dalam sistem ‘civil law’ yang dianut oleh negara-negara Eropa Barat, termasuk Indo-nesia, yang lebih diutamakan adalah ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Namun demikian, karena perkembangan zaman, baik di lingkungan negara-negara yang menganut “civil law” maupun “common law”, dewasa ini, bentuk peraturan tertulis berkembang semakin penting. Bahkan dikatakan, “Legislation or law-making by the formal declaration in statutory form of rules by a competent authority is the most powerful and yet the latest of the law-making instruments. Statute lawis today the principle source of law and is a very conve-nient method of making law”.

Betapapun, antara undang-undang tertulis atau “statutelaw” (legislative act) dan putusan hakim sebagai “judge-made law” atau “judiciary law” memang berbeda satu sama lain. Menurut John Austin, “statute law” itu adalah setiap hukum yang dibuat secara langsung atau melalui proses legislasi sebagaimana mestinya (any law which is made directly or in the way of proper legisla-tion). Sedangkan “judiciary law” merupakan hukum yang dibuat secara tidak langsung atau melalui peradilan atau legislasi yang tidak semestinya (any law which is made indirectly or in the way of judicial or improper legislation)3.

1.        Kelebihan “Statutory law”

Peraturan tertulis dalam bentuk “statutory laws” atau “statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang utama disebut juga seba-gai “legislative acts”, sedangkan yang kedua dikenal juga dengan istilah “executive acts”, “delegated legislations”, atau “subordinate legislations”. Peraturan yang berben-tuk tertulis yang disebut “statutory laws” itu pada pokoknya mempunyai beberapa kelebihan utama apabila dibandingkan dengan hukum buatan hakim atau “judiciary law” sesuai dengan asas preseden(precedent).

Beberapa kelebihan yang biasa dikenal dapat dikemukakan bahwa: (i) “Legislation is both constitutive and abrogative, whereas precedentmerely possesses constitutive efficacy”; (ii) “Legislation is not only a source of law, but is equally effective in increasing, amending, or annulling the existing law. Procedent on the other hand, cannot abrogate the existing rule oflaw, although it may produce very good law and in some respects better than legislation”; (iii) Di samping itu, asas presedenjuga tidak dapat menelusuri jejaknya sendiri (it cannot retrace its steps). Sedangkan “legislation as a destructive and reformative agent has no equal”; (iv) “Legislation allows an advantageous division of labour by dividing the two functions of making the law and administering it. This results in increased efficiency”. Sedangkan sistem precedent, dapat dikatakan menggabungkan 2 (dua) fungsi sekaligus di satu tangan, yaitu hakim.

Di samping itu ada pula beberapa kelebihan lainnya, yaitu (v) prinsip keadilan menghendaki agar hukum sudah lebih dulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakkan oleh aparat penegak hukum dan diterapkan di pengadilan. Akan tetapi, “the judiciary law” atau disebut juga “the case law” diciptakan dan dideklarasikan berlakunya bersamaan waktunya dengan tindakan penegakan dan penerapannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa “case law” bekerja secara retro-spektif, yaitu dengan diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa sebelum norma hukum itu sendiri ditetapkan (Case law operates retrospectively, being applied to the facts which are prior in date to the law itself); (vi) Legislasi dapat dibuat dalam rangka meng-antisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem ‘precedent’harus lebih dulu menunggu terjadinya perselisihan sebelum pengadilan dapat membuat putus-an yang bernilai dalam rangka ‘rule of law’(Legislation can make rules in anticipation of cases that have not yet arisen, whereas precedent must wait for the occurance of some dispute before the Court can create any definiterule of law).

Pada hakikatnya, ‘case-law’mengandung sifat-sifat “ex post facto”. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Sir John Salmond, “precedent independent on, legislationin dependent of, the accidental course of litigation”. Sistem ‘precedent’ bersifat independen terhadap, sedangkan ‘legislation’ bersifat independendari peng-adilan; dan (vii) “Legislation is superior form–brief, clear, easily accessible and understandable whilst valuable part of case-law has to be extracted from a ton of dross. One has to wade through the whole judgement before the ratio decidendi can be found out or case-law discovered”. Secara figuratif, oleh Salmond dikatakan, “Case-law is gold in mine a few grains of precious metal to the ton of useless matter – while statute law is coin of the realm, ready for immediate use”[5].

2.        Kelebihan “Case-law”

Namun demikian, ‘judge-made law’ atau ‘case law’ juga mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri apabila dibandingkan dengan “statutory law” atau undang undang tertulis (staturoty legislation). Kelebihan-kelebihan sistim “case-law” (judge made law) yang dapat dikemukakan disini adalah:
a.         Moralitas pengadilan, menurut A.V. Dicey, jauh lebih tinggi daripada moralitas para politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan politisi.“Legislation is the product of the will of politicians, who are affected by the popular feelings and passions. That is why the judiciary often denounces statutes as wrong, tyrannical, unjust or contrary to fundamental principles laid down in the written Constitution”;[6]
b.         Undang-undang sebagai hukum tertulis pada umumnya cenderung bersifat “rigid”, “straitly bound within the limits of authoritative formulate”. Sebaliknya,“case law”–dengan segala ketidak-Sempurnaannya bersifat lebih lentur (fleksibel) dan tetap memiliki hubungan yang hidup dengan (remainsin living contact) dengan penalar-an dan keadilan yang melatarinya;
c.         Dalam “Statute law”, perumusan kata hukum (the letter of the law) mendahului“the true spirit of the law”. Sedangkan dalam case-law, tidak ada “authoritative verbal expression”, sehingga dikatakan oleh Sir John Salmond, “there is no barrier between the Courts of justice and the very spirit and purpose of the law which they are called to administer[7].

Sistem hukum masing-masing negara memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu sistem preseden (common law) dan sistem civil law. Dalam sistem preseden putusan hakim (vonnis)  menjadi sumber hukum utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakhm dikemudian hari. Sedangkan sivil law  mengutamakan ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Statutory Law  dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang utama disebut dengan legislative acts,  sedangkan yang kedua disebut dengan executive acts or delegated legislations or subordinate legislations. Prinsip statutory law menghendaki agar hukum sudah terlebih dahulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakan oleh aparat penegak hukum dan penegakan di pengadilan. Akan tetapi the judiciary law atau disebut case law bekerja secara restroprektif yaitu diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa sebelum norma itu sendiri ditetapkan. Pada statutory law legislasi dapat dibuat dalam rangka mengantisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem precedent harus lebih dahulu menunggu terjadinya perselesihan sebelum pengadilan dapat membuat putusan yang bernilai dalam rangka rule of law. Case law memiliki kelebihan yakni moralitas pengadilan lebih tinggi dari pada moralitas politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu hukum buatan hakim lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran dari pada hukum buatan politisi[8].

Beberapa makna hukum berdasarkan beberapa sektor
a.         Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
b.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
c.         Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
d.        Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
e.         Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
f.         Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.[9]
g.        Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
h.        Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
i.          Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
j.          Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib[10].

Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi. Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.
ciri-ciri Hukum :
a.        Terdapat perintah dan/atau larangan.
b.        Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.7


B.       Sifat-sifat Hukum

Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.

C.      Pembagian Hukum

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:Pidana pokok:

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.[11]

Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.8

Pengertian Negara : Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

Menurut Para Ahli untuk pengertian Negara
a.         Prof. Farid S.
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
b.        Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
c.         Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
d.        Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
e.         Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
f.         Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
g.        Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
h.        Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

Sifat-sifat Negara
1.        Sifat memaksa agar peratura perundang-undangan di taati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapi serta timbulnya anarki dicegah. Maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara lega.
2.        Sifat Monopoli : Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran ke percayaan atau aliran politik tertentu di kurangi hidup dan disebarluaskan oleh karena dianggap bertentang dengan tujuan masyarkat.
3.        Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali[12].

Bentuk Negara
1.      Negara kesatuan :
Suatu negara yang mereka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang menatur seluruh daerah secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara, yang menggabungkan diri sedemikian rupa hingga menjadi satu negara yang negara-negara itu mempunya status bagian-bagian. Negara Kesatuan dapat berbentuk :
* Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurs oleh pemeintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
* Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra.

2.      Negara Serikat (Federasi) : Suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat itu. Negara-negara bagian itu asala mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara serikat, berarti ia telah melepaskan sebagian kekuasaanna dengan menyerahkan kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu (limiatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang didelegasikan).

Kekuasaan Asli ada pada negara bagian karena berhbungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan kekuasaannya kepada negara serikat adlah hal-hal yang berhubungan dengan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara, Keuangan, dan urusan Pos. Dapat juga diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintah federasi adalah urusan-urusan selebihnya dari pemerintah negara-negara bagian (residuary powers). 

D.      Tugas Utama Negara 

a. Mengatur dan menertibkan gejala-gejala dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain 
b. Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk menciptakan tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan negara
Unsur Negara
1. Pendidikan Penduduk negara adalah semua orang yang pada suatu wktu mendiami wilayah negara mereka secara sosiologi lazim disebut rakyat dari negara itu. Rakyat dalam huungan ini diartikan sebagai sekumpuan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Ditinjau dari segi hukum, rakyat merupakan warga negara suatu negara. Waraga negara adalah seluruh indiidu yang mempunyai ikatan hukum dengan suatu negara tertentu.

Menurut hukum international, tiap-tiap negara berhak untuk menetapkan sediri siap yang akan menjadi warga negaranya. Ada dua azas yang biasanya dipakai dalam penetuan kewarganegaraan yaitu :
a.       Asas ius soli (law of the soil) menentukan warga negaranya berdasarkan tempat tinggalnya, dalam arti siapapun yang bertempat tinggal disuatu negara adlah warga negara tersebut.
b.      Asas Ius sanguinis (law of the blood) menentukan warga negara berdasarkan pertalian darah, dalam arti siapapun seorang anak kandung (yang sedrah seketurunan dilahirkan oleh seoran gwarga negara ternentu. Maka anak tersebut juga dianggap wrga negara yang bersangkutan.

Tujuan Negara Republik Indonesia tercantum dalam UUD 1945
“...untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial,..”[13]

E.       Pengertian Pemerintah

Pemerintah merupakan kemudi dalam bahasa latin asalnya GubernaculumPemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan tertentu. Kawasan tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Pemerintah berbeda dengan pemerintahan. Pemerintah merupakan organ atau alat pelengkap jika dilihat dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan arti pemerintahan dalam arti luas adalah semua mencakup aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan negara yang menjalankan berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan negara. Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

F.       Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan

Pemerintah adalah Orang-orang yang menjalankan dan memiliki wewenang membuat kebijakan di kawasan tertentu. sedangkan Pemerintahan merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaan dan lembaga tempat mereka menjalankan aktivitas.
Keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara[14]
2 kriteria menjadi warga negara
a. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI

Menurut pasal 26 UUD 1945 
(1)    Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 
(2)    Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 
(3)    Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. [15]

Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945
1.        Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
2.        Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.        Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
4.        Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.


BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Beberapa makna hukum berdasarkan beberapa sektor
1.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
3.        Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas
4.        Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum.
5.        Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat.

Sifat hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.



DAFTAR PUSTAKA


A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education Ltd., 1959).
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995.
Mian Khurshid A. Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor Boo House, 1998), hal. 5.
J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).
Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.





DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................        ii

BAB I    PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang...................................................................        1
B.       Rumusan Masalah..............................................................        1
C.       Tujuan................................................................................        1

BAB II  PEMBAHASAN
A.      Makna Hukum Sebagai Produk Keputusan.......................        2
B.       Sifat-sifat Hukum..............................................................        8
C.       Pembagian Hukum.............................................................        8
D.      Tugas Utama Negara .........................................................        10
E.       Pengertian Pemerintah.......................................................        10
F.        Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan..........................        11

BAB III  PENUTUP
A.      Kesimpulan........................................................................        12

DAFTAR PUSTAKA




1 Mian Khurshid A. Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor Book House, 1998), hal. 5.
2 Ibid
3 J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).
[5] Ibid
[6] A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education Ltd., 1959).
[7] Ibid. hal. 6-7
[8]  Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.
[9]  Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995
[10] Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
7 Dr. W.L.G. Lemaire. Het Recht in Indonesia
[11]  KUHP pasal 10
8 Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
[12]  Ibid.
[13]  UUD 1945
[15] Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992

0 comments: