Wednesday, October 14, 2015

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.

Di dalam suatu sistem termuat adanya berbagai komponen, berbagaikegiatan yang merupakan fungsi dari setiap komponen,adanya saling keterhubungan serta ketergantungan antar komponen, adanya keterpaduan(integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada kawasan di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi dari semua komponen tersebut mengarah,  berorientasi ke pencapaian tujuan sistem yang telah ditetapkan.

Potensi ketidak harmonisan pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena terkait berbagai kepentingan kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa berbagai perubahan, perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan RI bahwa UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet”atau “UUD ” yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin. Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.  Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya ".
Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian tentang legal draft menyusun suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan perundang-undangan.  Untuk itu dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”, dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

B.       Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dalam makalah ini adalah bagaimanakah keadaan harmonisasi peraturan dalam perundang-undangan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan

Besarnya potensi ketidak harmonisan suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17 ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).[1]” Ketentuan ini kemudian digunakan secara bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.

Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”[2].

Dengan ketentuan tersebut, peran Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan menjadi semakin penting, karena Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPERPRES).
Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan oleh pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian. Rapat pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing subdirektorat sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di sini diperlukan tenaga yang terampil dan handal atau ahli dalam melakukan pengharmonisasian terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Harmonis diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata. sedangkan mengharmoniskan diartikan menjadikan harmonis, Pengharmonisan adalah proses, cara, perbuatan mengharmoniskan. Dan Keharmonisan diartikan sebagai perihal (keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian[3].

Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis. Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Sebagaimana telah dibahas di awal, harmonisasi peraturan perundang-udangan mempunyai arti penting dalam hal peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu Negara sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat saling terkait dan tergantung serta dapat membentuk suatu kebulatan yang utuh. Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang- Undang.

Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pemebentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur mengenai sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis[4]. Hierarki tersebut dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal sebagai berikut:

Pasal 2, yang berbunyi:
“Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”
Pasal 3 ayat (1), yang berbunyi:
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Pasal 7 ayat (1), yang bebunyi:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.”

Pasal 7 ayat (4), yang berbunyi:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”

Dengan pengaturan tersebut di atas terlihat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-niai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya Undang-Undang Dasar tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar merupakan norma dasar bagi norma-norma hukum dibawahnya.

Hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut di atas. Hirarki atau tata urutan peraturan perundangundangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5), yang berbunyi:
“Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

Dengan ketentuan ini maka telah jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan peraturan perundangan di atasnya.

Dalam hal ini berlaku asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang-undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan perundangundangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu Undang-Undang, ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Pemerintah dan seterusnya. Pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu peraturan perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki yang berbeda[5].

Arti penting harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan ini adalah bahwa dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundangundangan tersebut dapat diuji oleh kekuasaan kehakiman.

Pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Pasal 12 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menyatakan:
“Mahkamah agung berkenan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang”

Pasal 11 ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:
“Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang[6]

Dengan pengaturan sebagaimana tersebut di atas maka suatu undang-undang dapat dimintakan Judicial Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Konstitusi sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dimintakan Judicial Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Agung jika di dalamnya terdapat suatu ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang secara hirarki lebih tinggi. Terhadap undangundang apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap. Begitu pula dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap.[7]

Dalam hal inilah harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan mempunyai peranan penting. Selain berfungsi membentuk peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundangundangan berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang tidak sedikit, dari segi waktu proses penyusunannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan dapat memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan koordinasi dari pembuat peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan adanya proses harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan yang baik maka potensi berbagai kerugian di atas dapat dicegah. Di samping harmonisasi vertikal tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat. Jenis harmonisasi ini disebut dengan Harmonisasi Horinsontal peraturan perundang-undangan. Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus mengenyampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua asas tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan pada hakikatnya suatu peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengaturan yang lintas sektoral dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat berbagai sektor dan bidang hukum yang berbeda-beda namun saling kait mengkait dan terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif, bulat dan utuh.[8]

Pembentuk peraturan perundang-undangan dalam hal ini perlu berkoordinasi dengan insatansi yang terkait dengan substansi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Jika proses Harmoisasi Horisontal peraturan perundang-undangan ini gagal dilaksanakan maka akan tercipta kondisi tumpang tindihnya antar sektor dan bidang hukum dalam sistem hukum suatu negara. Kondisi ini akan berdampak sangat masif dan berbahaya karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapan peraturan perundang-undangan tesebut yang pada akhirnya menggagalkan tujuan hukum untuk mengabdi pada tujuan negara yakni menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya[9].

Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan berdasarkan asas Lex Posterior Delogat Legi Priori terhadap suatu peraturan perudang-undangan yang berada dalam hierarki yang sama dan sederajat dan dalam prakteknya diatur dalam ketentuan penutup pada suatu peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan penutup suatu peraturan perundang-undangan diatur status peraturan perundang-undangan yang sudah ada apakah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau dinyatakan tidak berlaku sama sekali. Ketentuan ini sangat penting guna mengatur dan menata berbagai aspek dan bidang hukum yang terkait dengan peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tidak terjadi dualisme pengaturan suatu aturan hukum yang sama dalam beberapa peraturan perundang-undangan[10].

Sedangkan penerapan Lex Specialist Delogat legi Generalis dalam Harmonisasi Horisontal diperlukan guna membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk dan karakteristik khusus dan berbeda (sui generis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain guna mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh adalah bentuk pengaturan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. Meskipun LPEI melaksanakan kegiatan pembiayaan, penjaminan, dan asuransi, namun dalam undang-undang tersebut diatur secara khusus bahwa LPEI sebagai lembaga khusus (sui generis) secara kelembagaan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang perbankan, Badan Usaha Milik Negara, lembaga pembiayaan atau perusahaan pembiayaan, dan usaha perasuransian[11]. Namun, dalam menjalankan kegiatan usahanya, LPEI tunduk kepada ketentuan materiil tentang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang pinjam-meminjam, Bab Ketujuh Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang penanggungan utang, dan Bab Kesembilan Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang asuransi atau pertanggungan. Pengaturan ini dibentuk guna memberikan sifat dan karakter yang khusus kepada LPEI agar dapat bergerak lebih fleksibel dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut yakni untuk menunjang program pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor nasional. Akan tetapi betapapun perlunya suatu pembentukan peraturan perundangundangan yang bersifat khusus guna mencapai tujuan tertentu, hendaknya perlu diperhatikan agar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tetap berada dalam suatu kesatuan sistem hukum yang ada. Hal ini penting, mengingat peraturan perundang-undangan merupakan sub sistem dari suatu sistem hukum serta guna menjamin agar suatu peraturan perundang-undangan dapat kompatibel masuk ke dalam sistem hukum sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut[12].

Di samping kedua jenis harmonisasi di atas ketentuan peraturan perundang-undangan juga harus diharmonisasikan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan.

Menurut Hamid S. Atamimi asas pembentukan peraturan perundang undangan
yang baik ialah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat, dan bagi proses dan prosedur pembentukan yang telah ditetapkan[13].

Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan peraturanperundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk regelgeving)[14],
yaitu asas formal dan asas material.
1. Asas-asas formal meliputi:
a. Asas tujuan jelas;
b. Asas lembaga yang tepat;
c. Asas perlunya pengaturan;
d. Asas dapat dilaksanakan;dan
e. Asas Konsensus.

2. Asas-asas material meliputi:
a. Asas kejelasan Terminologi dan sistematika;
b. Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali;
c. Asas persamaan;
d. Asas kepastian hukum;dan
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan asas peraturan perundangundangan
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik (Pasal 5):
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan[15].

B.       Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan 

Potensi ketidak harmonisan pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena terkait berbagai kepentingan kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa berbagai perubahan, perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan RI bahwa UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet” atau “UUD ” yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin. Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.  Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya ". Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian tentang legal draft menyusun suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan perundang-undangan.  Untuk itu dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”, dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Harmonisasi dalam Kamus Ilmiah Populer di definisikan sebagai pengharmonisan, penyelarasan, dan penyerasian.  Korelasi kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah pembuatan peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang di draft (di rancang/di naskah) harus sesuai, selaras dengan aturan-aturan pembuatannya, yang meliputi pada asas-asas perundang-undangan, khususnya pada asas tingkat hirarki, lex specialis derogat lex generalis, lex posterriori derogat lex priori, dan sebagainya.

C.      Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Sinkronisasi merupakan salah satu langkah untuk melihat suatu peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturang perundang-undangan yang ada.
Adapun bentuk hierarki peraturan perundang-undangan adalah:
1)    Undang-undang Dasar 1945.
2)    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
3)    Undang-undang.
4)    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5)    Peraturan Pemerintah.
6)    Keputusan Presiden.
7)    Peraturan Daerah.

Dengan memperhatikan hierarki di atas maka untuk menciptakan atau merancang suatu peraturan perundangan harus sesuai dengan sistematika tersebut agar terciptanya peraturan perundangan yang harmonis.

D.      Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar Perundang-undangan.

Dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan, untuk terealisasikan sistem yang harmonis maka perlu diperhatikan tata hukum nasional yang baik, yang diantaranya:
1)    Sumber dasar hukum yaitu Pancasila
2)    Cita-cita hukum nasional
3)    Politik hukum nasional
4)    Pertingkatan hukum nasional
5)    Mekanisme pengembangan hukum nasional
6)    Lembaga yang menangani hukum nasional
7)    Kesadaran hukum masyarakat.
Dari tujuh poin di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa tata hukum nasional yang baik adalah hukum yang berlandaskan akan tiga landasan dasar , yakni:
1.        Landasan Filosofis
Landasan ini dapat ditemukan pada sumber dasar hukum, yakni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila), dan   cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan keadilan).


2.        Landasan Yuridis.
Landasan ini dapat ditemukan pada pertingkatan hukum nasional, mekanisme pengembangan hukum nasional  dan lembaga yang menangani hukum nasional. Jadi, landasan yuridis ini adalah landasan yang menuntut adanya persyaratan formal, tidak bertentangan (sesuai) dengan aturan yang berlaku di Indonesia secara sah.
3.        Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam poin di atas dapat ditemukan pada politik hukum nasional dan kesadaran hukum masyarakat. Dari paparan di atas telah jelas, bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan akan dapat terealisasikan ketika sesuai dengan sistem konstitusi yang dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan bawahan dalam negara, dan sesuai  pula dengan prinsip Negara Hukum, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas (PP Nomor 68 Tahun 2005).

Dengan demikian pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis, dengan ketentuan tersebut peran Direktorat Jenderal Harmonisasi PP merupakan salah satu unit Eselon 1 yang ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan dan keserasian dan keselarasan rancangan peraturan perundang-undangan tetapi juga terhadap rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden.
Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan pemrakarsa dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian, dimana diperlukan tenaga pengharmonisasian terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sedang dirumuskan yang menjadi tanggung jawab tugas dan fungsi pelaksanaan pekerjaan dari unit instansi yang ditanggung jawabkan pelaksanaan pekerjaan tersebut.



BAB III
PENUTUP



Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.

Besarnya potensi ketidak harmonisan suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA



A.Hamid S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.Yogyakarta : Kanisius. 2007
Fatimah, Siti, 2008. Perkuliahan Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta. Kanisius
Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2003.
Ruchiyatun, 2009. Materi Legal Drafting; Landasan/ Dasar Peraturan Perundang-undangan.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17 ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR..........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................        ii

BAB I    PENDAHULUAN..................................................................        1
A.      Latar Belakang...................................................................        1
B.       Tujuan................................................................................        2

BAB II  PEMBAHASAN.....................................................................        3
A.      Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan...................        3
B.       Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan         10
C.       Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan .
Perundang-undangan.........................................................        11
D.      Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar
Perundang-undangan.........................................................        11

BAB III  PENUTUP.............................................................................        18

DAFTAR PUSTAKA




[1] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17 ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[2] Ibid
[3] Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2003.
[4] UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[5] Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
[6] Fatimah, Siti, Perkuliahan Hukum Tata Negara, 2008.
[7] Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
[8]  Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum Media dan HAM. Konstitusi Press: Jakarta, 2005.
[9]  ibid
[10]  Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
[11] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009
[12]  Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta. Kanisius
[13]  A.Hamid S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.Yogyakarta : Kanisius. 2007
[14]  ibid
[15]  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

0 comments: