Wednesday, October 14, 2015

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.

Di dalam suatu sistem termuat adanya berbagai komponen, berbagaikegiatan yang merupakan fungsi dari setiap komponen,adanya saling keterhubungan serta ketergantungan antar komponen, adanya keterpaduan(integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada kawasan di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi dari semua komponen tersebut mengarah,  berorientasi ke pencapaian tujuan sistem yang telah ditetapkan.

Potensi ketidak harmonisan pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena terkait berbagai kepentingan kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa berbagai perubahan, perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan RI bahwa UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet”atau “UUD ” yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin. Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.  Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya ".
Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian tentang legal draft menyusun suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan perundang-undangan.  Untuk itu dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”, dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

B.       Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dalam makalah ini adalah bagaimanakah keadaan harmonisasi peraturan dalam perundang-undangan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan

Besarnya potensi ketidak harmonisan suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17 ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).[1]” Ketentuan ini kemudian digunakan secara bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.

Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”[2].

Dengan ketentuan tersebut, peran Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan menjadi semakin penting, karena Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPERPRES).
Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan oleh pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian. Rapat pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing subdirektorat sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di sini diperlukan tenaga yang terampil dan handal atau ahli dalam melakukan pengharmonisasian terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Harmonis diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata. sedangkan mengharmoniskan diartikan menjadikan harmonis, Pengharmonisan adalah proses, cara, perbuatan mengharmoniskan. Dan Keharmonisan diartikan sebagai perihal (keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian[3].

Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis. Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Sebagaimana telah dibahas di awal, harmonisasi peraturan perundang-udangan mempunyai arti penting dalam hal peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu Negara sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat saling terkait dan tergantung serta dapat membentuk suatu kebulatan yang utuh. Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang- Undang.

Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pemebentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur mengenai sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis[4]. Hierarki tersebut dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal sebagai berikut:

Pasal 2, yang berbunyi:
“Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”
Pasal 3 ayat (1), yang berbunyi:
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Pasal 7 ayat (1), yang bebunyi:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.”

Pasal 7 ayat (4), yang berbunyi:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”

Dengan pengaturan tersebut di atas terlihat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-niai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya Undang-Undang Dasar tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar merupakan norma dasar bagi norma-norma hukum dibawahnya.

Hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut di atas. Hirarki atau tata urutan peraturan perundangundangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5), yang berbunyi:
“Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

Dengan ketentuan ini maka telah jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan peraturan perundangan di atasnya.

Dalam hal ini berlaku asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang-undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan perundangundangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu Undang-Undang, ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Pemerintah dan seterusnya. Pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu peraturan perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki yang berbeda[5].

Arti penting harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan ini adalah bahwa dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundangundangan tersebut dapat diuji oleh kekuasaan kehakiman.

Pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Pasal 12 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menyatakan:
“Mahkamah agung berkenan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang”

Pasal 11 ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:
“Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang[6]

Dengan pengaturan sebagaimana tersebut di atas maka suatu undang-undang dapat dimintakan Judicial Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Konstitusi sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dimintakan Judicial Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Agung jika di dalamnya terdapat suatu ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang secara hirarki lebih tinggi. Terhadap undangundang apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap. Begitu pula dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap.[7]

Dalam hal inilah harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan mempunyai peranan penting. Selain berfungsi membentuk peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundangundangan berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang tidak sedikit, dari segi waktu proses penyusunannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan dapat memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan koordinasi dari pembuat peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan adanya proses harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan yang baik maka potensi berbagai kerugian di atas dapat dicegah. Di samping harmonisasi vertikal tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat. Jenis harmonisasi ini disebut dengan Harmonisasi Horinsontal peraturan perundang-undangan. Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus mengenyampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua asas tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan pada hakikatnya suatu peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengaturan yang lintas sektoral dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat berbagai sektor dan bidang hukum yang berbeda-beda namun saling kait mengkait dan terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif, bulat dan utuh.[8]

Pembentuk peraturan perundang-undangan dalam hal ini perlu berkoordinasi dengan insatansi yang terkait dengan substansi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Jika proses Harmoisasi Horisontal peraturan perundang-undangan ini gagal dilaksanakan maka akan tercipta kondisi tumpang tindihnya antar sektor dan bidang hukum dalam sistem hukum suatu negara. Kondisi ini akan berdampak sangat masif dan berbahaya karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapan peraturan perundang-undangan tesebut yang pada akhirnya menggagalkan tujuan hukum untuk mengabdi pada tujuan negara yakni menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya[9].

Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan berdasarkan asas Lex Posterior Delogat Legi Priori terhadap suatu peraturan perudang-undangan yang berada dalam hierarki yang sama dan sederajat dan dalam prakteknya diatur dalam ketentuan penutup pada suatu peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan penutup suatu peraturan perundang-undangan diatur status peraturan perundang-undangan yang sudah ada apakah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau dinyatakan tidak berlaku sama sekali. Ketentuan ini sangat penting guna mengatur dan menata berbagai aspek dan bidang hukum yang terkait dengan peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tidak terjadi dualisme pengaturan suatu aturan hukum yang sama dalam beberapa peraturan perundang-undangan[10].

Sedangkan penerapan Lex Specialist Delogat legi Generalis dalam Harmonisasi Horisontal diperlukan guna membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk dan karakteristik khusus dan berbeda (sui generis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain guna mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh adalah bentuk pengaturan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. Meskipun LPEI melaksanakan kegiatan pembiayaan, penjaminan, dan asuransi, namun dalam undang-undang tersebut diatur secara khusus bahwa LPEI sebagai lembaga khusus (sui generis) secara kelembagaan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang perbankan, Badan Usaha Milik Negara, lembaga pembiayaan atau perusahaan pembiayaan, dan usaha perasuransian[11]. Namun, dalam menjalankan kegiatan usahanya, LPEI tunduk kepada ketentuan materiil tentang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang pinjam-meminjam, Bab Ketujuh Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang penanggungan utang, dan Bab Kesembilan Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang asuransi atau pertanggungan. Pengaturan ini dibentuk guna memberikan sifat dan karakter yang khusus kepada LPEI agar dapat bergerak lebih fleksibel dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut yakni untuk menunjang program pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor nasional. Akan tetapi betapapun perlunya suatu pembentukan peraturan perundangundangan yang bersifat khusus guna mencapai tujuan tertentu, hendaknya perlu diperhatikan agar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tetap berada dalam suatu kesatuan sistem hukum yang ada. Hal ini penting, mengingat peraturan perundang-undangan merupakan sub sistem dari suatu sistem hukum serta guna menjamin agar suatu peraturan perundang-undangan dapat kompatibel masuk ke dalam sistem hukum sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut[12].

Di samping kedua jenis harmonisasi di atas ketentuan peraturan perundang-undangan juga harus diharmonisasikan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan.

Menurut Hamid S. Atamimi asas pembentukan peraturan perundang undangan
yang baik ialah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat, dan bagi proses dan prosedur pembentukan yang telah ditetapkan[13].

Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan peraturanperundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk regelgeving)[14],
yaitu asas formal dan asas material.
1. Asas-asas formal meliputi:
a. Asas tujuan jelas;
b. Asas lembaga yang tepat;
c. Asas perlunya pengaturan;
d. Asas dapat dilaksanakan;dan
e. Asas Konsensus.

2. Asas-asas material meliputi:
a. Asas kejelasan Terminologi dan sistematika;
b. Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali;
c. Asas persamaan;
d. Asas kepastian hukum;dan
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan asas peraturan perundangundangan
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik (Pasal 5):
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan[15].

B.       Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan 

Potensi ketidak harmonisan pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena terkait berbagai kepentingan kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa berbagai perubahan, perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan RI bahwa UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet” atau “UUD ” yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin. Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.  Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya ". Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian tentang legal draft menyusun suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan perundang-undangan.  Untuk itu dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”, dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Harmonisasi dalam Kamus Ilmiah Populer di definisikan sebagai pengharmonisan, penyelarasan, dan penyerasian.  Korelasi kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah pembuatan peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang di draft (di rancang/di naskah) harus sesuai, selaras dengan aturan-aturan pembuatannya, yang meliputi pada asas-asas perundang-undangan, khususnya pada asas tingkat hirarki, lex specialis derogat lex generalis, lex posterriori derogat lex priori, dan sebagainya.

C.      Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Sinkronisasi merupakan salah satu langkah untuk melihat suatu peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturang perundang-undangan yang ada.
Adapun bentuk hierarki peraturan perundang-undangan adalah:
1)    Undang-undang Dasar 1945.
2)    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
3)    Undang-undang.
4)    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5)    Peraturan Pemerintah.
6)    Keputusan Presiden.
7)    Peraturan Daerah.

Dengan memperhatikan hierarki di atas maka untuk menciptakan atau merancang suatu peraturan perundangan harus sesuai dengan sistematika tersebut agar terciptanya peraturan perundangan yang harmonis.

D.      Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar Perundang-undangan.

Dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan, untuk terealisasikan sistem yang harmonis maka perlu diperhatikan tata hukum nasional yang baik, yang diantaranya:
1)    Sumber dasar hukum yaitu Pancasila
2)    Cita-cita hukum nasional
3)    Politik hukum nasional
4)    Pertingkatan hukum nasional
5)    Mekanisme pengembangan hukum nasional
6)    Lembaga yang menangani hukum nasional
7)    Kesadaran hukum masyarakat.
Dari tujuh poin di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa tata hukum nasional yang baik adalah hukum yang berlandaskan akan tiga landasan dasar , yakni:
1.        Landasan Filosofis
Landasan ini dapat ditemukan pada sumber dasar hukum, yakni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila), dan   cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan keadilan).


2.        Landasan Yuridis.
Landasan ini dapat ditemukan pada pertingkatan hukum nasional, mekanisme pengembangan hukum nasional  dan lembaga yang menangani hukum nasional. Jadi, landasan yuridis ini adalah landasan yang menuntut adanya persyaratan formal, tidak bertentangan (sesuai) dengan aturan yang berlaku di Indonesia secara sah.
3.        Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam poin di atas dapat ditemukan pada politik hukum nasional dan kesadaran hukum masyarakat. Dari paparan di atas telah jelas, bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan akan dapat terealisasikan ketika sesuai dengan sistem konstitusi yang dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan bawahan dalam negara, dan sesuai  pula dengan prinsip Negara Hukum, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas (PP Nomor 68 Tahun 2005).

Dengan demikian pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis, dengan ketentuan tersebut peran Direktorat Jenderal Harmonisasi PP merupakan salah satu unit Eselon 1 yang ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan dan keserasian dan keselarasan rancangan peraturan perundang-undangan tetapi juga terhadap rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden.
Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan pemrakarsa dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian, dimana diperlukan tenaga pengharmonisasian terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sedang dirumuskan yang menjadi tanggung jawab tugas dan fungsi pelaksanaan pekerjaan dari unit instansi yang ditanggung jawabkan pelaksanaan pekerjaan tersebut.



BAB III
PENUTUP



Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.

Besarnya potensi ketidak harmonisan suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA



A.Hamid S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.Yogyakarta : Kanisius. 2007
Fatimah, Siti, 2008. Perkuliahan Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta. Kanisius
Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2003.
Ruchiyatun, 2009. Materi Legal Drafting; Landasan/ Dasar Peraturan Perundang-undangan.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17 ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR..........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................        ii

BAB I    PENDAHULUAN..................................................................        1
A.      Latar Belakang...................................................................        1
B.       Tujuan................................................................................        2

BAB II  PEMBAHASAN.....................................................................        3
A.      Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan...................        3
B.       Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan         10
C.       Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan .
Perundang-undangan.........................................................        11
D.      Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar
Perundang-undangan.........................................................        11

BAB III  PENUTUP.............................................................................        18

DAFTAR PUSTAKA




[1] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17 ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[2] Ibid
[3] Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2003.
[4] UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[5] Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
[6] Fatimah, Siti, Perkuliahan Hukum Tata Negara, 2008.
[7] Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
[8]  Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum Media dan HAM. Konstitusi Press: Jakarta, 2005.
[9]  ibid
[10]  Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
[11] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009
[12]  Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta. Kanisius
[13]  A.Hamid S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.Yogyakarta : Kanisius. 2007
[14]  ibid
[15]  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

HUKUM SEBAGAI PRODUK KEPUTUSAN

 BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Kadang-kadang, subjek hukum yang terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms).

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam makalah ini adalah bagaimanakah makna hukum sebagai produk sebuah keputusan.

C.      Tujuan

Tujuan  dalam  makalah  ini adalah mengetahui makna hukum sebagai produk keputusan.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Makna Hukum Sebagai Produk Keputusan

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Kadang-kadang, subjek hukum yang terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms).

Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) tersebut biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) atau pun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazim-nya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan tersebut, dapat dibedakan dengan istilah:
1)        Pengaturan menghasilkan peraturan (regels).
Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak di-sebut dengan istilah lain kecuali “peraturan”;
2)        Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah “penetapan” untuk sebutan bagi keputus-an-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “Ke-tetapan” yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya; dan
3)        Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap”, dan “aturan” yang berasal dari “atur”. Namun, karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan judisialhakim atas perkara yang diadili disebut putusan.

Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of libertyof the souvereign people). Namun demikian, cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat untuk umum, apabila para wakil rakyat sendiri telah memberikan persetujuannya dalam undang-undang.

Karena itu, apabila mendapat pendelegasian kewenangan, cabang kekuasaan eksekutif dan judikatif juga dapat membuatperaturan, sehingga dapat dikatakan bahwa kewenangan mengatur itu juga dimiliki baik (a) oleh cabang kekuasaan legislatif, (b) cabang kekuasaan eksekutif, maupun (c) oleh cabang kekuasaan judikatif. Oleh karena itu, di samping menetapkan putusan (vonnis), pengadilan juga memiliki kewenangan regulasi yang dapat juga disebut sebagai ‘judicial legislation’. “Judicial legislation” dapat diartikan dengan pernyataan, “It is the rule-making powerof the superior courts for the regulation of their own proced true form of legislation except that it cannot create new law by way of precedent”[4]1.

Demikian pula cabang kekuasaan eksekutif juga mempunyai kewenangan regulasi yang dapat pula disebut sebagai “executive legislation” yang menurut Mian Khurshid, “It is the legislationby the executive for conducting the adminsitrative departments of a State”.“Executive legislation”itu merupakan peraturan yang dibuat oleh eksekutif untuk menjalankan roda peme-rintahan negara.“Where the Act does not contain the whole legislation but delegates to a foreign authority to legislate in the matter, it is subordinate or delegated legislation. There has grownup a practice whereby the statuteconfines itself to the general provisions and leaves the details to be worked out in departmental regulations operating under the statute. Such regulations furnish examples of subordinate or delegated legislation”2. Sudah menjadi kebiasaan umum di dunia bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen hanya mengatur garis besar ketentuan yang diperlukan, sedangkan rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh pihakeksekutif sendiri yang lebih mengetahui rincian persoalan yang perlu diatur.
Dalam sistem preseden (common law), putusan hakim (vonnis) menjadi sumber hukum yang utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakim yang terkemudian. Namun, dalam sistem ‘civil law’ yang dianut oleh negara-negara Eropa Barat, termasuk Indo-nesia, yang lebih diutamakan adalah ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Namun demikian, karena perkembangan zaman, baik di lingkungan negara-negara yang menganut “civil law” maupun “common law”, dewasa ini, bentuk peraturan tertulis berkembang semakin penting. Bahkan dikatakan, “Legislation or law-making by the formal declaration in statutory form of rules by a competent authority is the most powerful and yet the latest of the law-making instruments. Statute lawis today the principle source of law and is a very conve-nient method of making law”.

Betapapun, antara undang-undang tertulis atau “statutelaw” (legislative act) dan putusan hakim sebagai “judge-made law” atau “judiciary law” memang berbeda satu sama lain. Menurut John Austin, “statute law” itu adalah setiap hukum yang dibuat secara langsung atau melalui proses legislasi sebagaimana mestinya (any law which is made directly or in the way of proper legisla-tion). Sedangkan “judiciary law” merupakan hukum yang dibuat secara tidak langsung atau melalui peradilan atau legislasi yang tidak semestinya (any law which is made indirectly or in the way of judicial or improper legislation)3.

1.        Kelebihan “Statutory law”

Peraturan tertulis dalam bentuk “statutory laws” atau “statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang utama disebut juga seba-gai “legislative acts”, sedangkan yang kedua dikenal juga dengan istilah “executive acts”, “delegated legislations”, atau “subordinate legislations”. Peraturan yang berben-tuk tertulis yang disebut “statutory laws” itu pada pokoknya mempunyai beberapa kelebihan utama apabila dibandingkan dengan hukum buatan hakim atau “judiciary law” sesuai dengan asas preseden(precedent).

Beberapa kelebihan yang biasa dikenal dapat dikemukakan bahwa: (i) “Legislation is both constitutive and abrogative, whereas precedentmerely possesses constitutive efficacy”; (ii) “Legislation is not only a source of law, but is equally effective in increasing, amending, or annulling the existing law. Procedent on the other hand, cannot abrogate the existing rule oflaw, although it may produce very good law and in some respects better than legislation”; (iii) Di samping itu, asas presedenjuga tidak dapat menelusuri jejaknya sendiri (it cannot retrace its steps). Sedangkan “legislation as a destructive and reformative agent has no equal”; (iv) “Legislation allows an advantageous division of labour by dividing the two functions of making the law and administering it. This results in increased efficiency”. Sedangkan sistem precedent, dapat dikatakan menggabungkan 2 (dua) fungsi sekaligus di satu tangan, yaitu hakim.

Di samping itu ada pula beberapa kelebihan lainnya, yaitu (v) prinsip keadilan menghendaki agar hukum sudah lebih dulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakkan oleh aparat penegak hukum dan diterapkan di pengadilan. Akan tetapi, “the judiciary law” atau disebut juga “the case law” diciptakan dan dideklarasikan berlakunya bersamaan waktunya dengan tindakan penegakan dan penerapannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa “case law” bekerja secara retro-spektif, yaitu dengan diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa sebelum norma hukum itu sendiri ditetapkan (Case law operates retrospectively, being applied to the facts which are prior in date to the law itself); (vi) Legislasi dapat dibuat dalam rangka meng-antisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem ‘precedent’harus lebih dulu menunggu terjadinya perselisihan sebelum pengadilan dapat membuat putus-an yang bernilai dalam rangka ‘rule of law’(Legislation can make rules in anticipation of cases that have not yet arisen, whereas precedent must wait for the occurance of some dispute before the Court can create any definiterule of law).

Pada hakikatnya, ‘case-law’mengandung sifat-sifat “ex post facto”. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Sir John Salmond, “precedent independent on, legislationin dependent of, the accidental course of litigation”. Sistem ‘precedent’ bersifat independen terhadap, sedangkan ‘legislation’ bersifat independendari peng-adilan; dan (vii) “Legislation is superior form–brief, clear, easily accessible and understandable whilst valuable part of case-law has to be extracted from a ton of dross. One has to wade through the whole judgement before the ratio decidendi can be found out or case-law discovered”. Secara figuratif, oleh Salmond dikatakan, “Case-law is gold in mine a few grains of precious metal to the ton of useless matter – while statute law is coin of the realm, ready for immediate use”[5].

2.        Kelebihan “Case-law”

Namun demikian, ‘judge-made law’ atau ‘case law’ juga mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri apabila dibandingkan dengan “statutory law” atau undang undang tertulis (staturoty legislation). Kelebihan-kelebihan sistim “case-law” (judge made law) yang dapat dikemukakan disini adalah:
a.         Moralitas pengadilan, menurut A.V. Dicey, jauh lebih tinggi daripada moralitas para politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan politisi.“Legislation is the product of the will of politicians, who are affected by the popular feelings and passions. That is why the judiciary often denounces statutes as wrong, tyrannical, unjust or contrary to fundamental principles laid down in the written Constitution”;[6]
b.         Undang-undang sebagai hukum tertulis pada umumnya cenderung bersifat “rigid”, “straitly bound within the limits of authoritative formulate”. Sebaliknya,“case law”–dengan segala ketidak-Sempurnaannya bersifat lebih lentur (fleksibel) dan tetap memiliki hubungan yang hidup dengan (remainsin living contact) dengan penalar-an dan keadilan yang melatarinya;
c.         Dalam “Statute law”, perumusan kata hukum (the letter of the law) mendahului“the true spirit of the law”. Sedangkan dalam case-law, tidak ada “authoritative verbal expression”, sehingga dikatakan oleh Sir John Salmond, “there is no barrier between the Courts of justice and the very spirit and purpose of the law which they are called to administer[7].

Sistem hukum masing-masing negara memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu sistem preseden (common law) dan sistem civil law. Dalam sistem preseden putusan hakim (vonnis)  menjadi sumber hukum utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakhm dikemudian hari. Sedangkan sivil law  mengutamakan ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Statutory Law  dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang utama disebut dengan legislative acts,  sedangkan yang kedua disebut dengan executive acts or delegated legislations or subordinate legislations. Prinsip statutory law menghendaki agar hukum sudah terlebih dahulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakan oleh aparat penegak hukum dan penegakan di pengadilan. Akan tetapi the judiciary law atau disebut case law bekerja secara restroprektif yaitu diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa sebelum norma itu sendiri ditetapkan. Pada statutory law legislasi dapat dibuat dalam rangka mengantisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem precedent harus lebih dahulu menunggu terjadinya perselesihan sebelum pengadilan dapat membuat putusan yang bernilai dalam rangka rule of law. Case law memiliki kelebihan yakni moralitas pengadilan lebih tinggi dari pada moralitas politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu hukum buatan hakim lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran dari pada hukum buatan politisi[8].

Beberapa makna hukum berdasarkan beberapa sektor
a.         Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
b.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
c.         Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
d.        Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
e.         Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
f.         Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.[9]
g.        Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
h.        Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
i.          Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
j.          Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib[10].

Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi. Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.
ciri-ciri Hukum :
a.        Terdapat perintah dan/atau larangan.
b.        Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.7


B.       Sifat-sifat Hukum

Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.

C.      Pembagian Hukum

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:Pidana pokok:

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.[11]

Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.8

Pengertian Negara : Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

Menurut Para Ahli untuk pengertian Negara
a.         Prof. Farid S.
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
b.        Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
c.         Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
d.        Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
e.         Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
f.         Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
g.        Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
h.        Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

Sifat-sifat Negara
1.        Sifat memaksa agar peratura perundang-undangan di taati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapi serta timbulnya anarki dicegah. Maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara lega.
2.        Sifat Monopoli : Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran ke percayaan atau aliran politik tertentu di kurangi hidup dan disebarluaskan oleh karena dianggap bertentang dengan tujuan masyarkat.
3.        Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali[12].

Bentuk Negara
1.      Negara kesatuan :
Suatu negara yang mereka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang menatur seluruh daerah secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara, yang menggabungkan diri sedemikian rupa hingga menjadi satu negara yang negara-negara itu mempunya status bagian-bagian. Negara Kesatuan dapat berbentuk :
* Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurs oleh pemeintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
* Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra.

2.      Negara Serikat (Federasi) : Suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat itu. Negara-negara bagian itu asala mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara serikat, berarti ia telah melepaskan sebagian kekuasaanna dengan menyerahkan kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu (limiatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang didelegasikan).

Kekuasaan Asli ada pada negara bagian karena berhbungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan kekuasaannya kepada negara serikat adlah hal-hal yang berhubungan dengan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara, Keuangan, dan urusan Pos. Dapat juga diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintah federasi adalah urusan-urusan selebihnya dari pemerintah negara-negara bagian (residuary powers). 

D.      Tugas Utama Negara 

a. Mengatur dan menertibkan gejala-gejala dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain 
b. Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk menciptakan tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan negara
Unsur Negara
1. Pendidikan Penduduk negara adalah semua orang yang pada suatu wktu mendiami wilayah negara mereka secara sosiologi lazim disebut rakyat dari negara itu. Rakyat dalam huungan ini diartikan sebagai sekumpuan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Ditinjau dari segi hukum, rakyat merupakan warga negara suatu negara. Waraga negara adalah seluruh indiidu yang mempunyai ikatan hukum dengan suatu negara tertentu.

Menurut hukum international, tiap-tiap negara berhak untuk menetapkan sediri siap yang akan menjadi warga negaranya. Ada dua azas yang biasanya dipakai dalam penetuan kewarganegaraan yaitu :
a.       Asas ius soli (law of the soil) menentukan warga negaranya berdasarkan tempat tinggalnya, dalam arti siapapun yang bertempat tinggal disuatu negara adlah warga negara tersebut.
b.      Asas Ius sanguinis (law of the blood) menentukan warga negara berdasarkan pertalian darah, dalam arti siapapun seorang anak kandung (yang sedrah seketurunan dilahirkan oleh seoran gwarga negara ternentu. Maka anak tersebut juga dianggap wrga negara yang bersangkutan.

Tujuan Negara Republik Indonesia tercantum dalam UUD 1945
“...untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial,..”[13]

E.       Pengertian Pemerintah

Pemerintah merupakan kemudi dalam bahasa latin asalnya GubernaculumPemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan tertentu. Kawasan tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Pemerintah berbeda dengan pemerintahan. Pemerintah merupakan organ atau alat pelengkap jika dilihat dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan arti pemerintahan dalam arti luas adalah semua mencakup aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan negara yang menjalankan berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan negara. Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

F.       Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan

Pemerintah adalah Orang-orang yang menjalankan dan memiliki wewenang membuat kebijakan di kawasan tertentu. sedangkan Pemerintahan merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaan dan lembaga tempat mereka menjalankan aktivitas.
Keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara[14]
2 kriteria menjadi warga negara
a. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI

Menurut pasal 26 UUD 1945 
(1)    Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 
(2)    Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 
(3)    Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. [15]

Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945
1.        Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
2.        Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.        Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
4.        Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.


BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

Beberapa makna hukum berdasarkan beberapa sektor
1.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2.        Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
3.        Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas
4.        Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum.
5.        Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat.

Sifat hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.



DAFTAR PUSTAKA


A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education Ltd., 1959).
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995.
Mian Khurshid A. Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor Boo House, 1998), hal. 5.
J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).
Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.





DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................        ii

BAB I    PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang...................................................................        1
B.       Rumusan Masalah..............................................................        1
C.       Tujuan................................................................................        1

BAB II  PEMBAHASAN
A.      Makna Hukum Sebagai Produk Keputusan.......................        2
B.       Sifat-sifat Hukum..............................................................        8
C.       Pembagian Hukum.............................................................        8
D.      Tugas Utama Negara .........................................................        10
E.       Pengertian Pemerintah.......................................................        10
F.        Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan..........................        11

BAB III  PENUTUP
A.      Kesimpulan........................................................................        12

DAFTAR PUSTAKA




1 Mian Khurshid A. Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor Book House, 1998), hal. 5.
2 Ibid
3 J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).
[5] Ibid
[6] A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education Ltd., 1959).
[7] Ibid. hal. 6-7
[8]  Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.
[9]  Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995
[10] Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
7 Dr. W.L.G. Lemaire. Het Recht in Indonesia
[11]  KUHP pasal 10
8 Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
[12]  Ibid.
[13]  UUD 1945
[15] Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992