Wednesday, October 18, 2017

METODOLOGI STUDI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemumgkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.

B.       Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian metodologi studi islam dan ruang lingkupnya?
2.        Apa saja pendekatan-pendekatan dalam metodologi studi islam?
3.        Apakah arti islam sebagai objek kajian?
4.        Apakah pengertian dari islam normative dan islam historis?
C.      Tujuan

Tujuan yang ingin diketahui dalam makalah ini yaitu:
1.        Mengetahui pengertian metodologi studi islam dan ruang lingkupnya.
2.        Mengetahui apa saja pendekatan-pendekatan dalam metodologi studi islam.
3.        Mengetahui pengertian islam sebagai objek kajian.
4.        Mengetahui pengertian dari islam normative dan islam historis.

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian metodologi studi islam dan ruang lingkupnya

1.        Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.

Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.

2.        Ruang lingkup studi Islam:
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
a.         Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
b.        Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c.         Sebagai interaksi social, yaitu realitas umat Islam.

Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.

B.       Pendekatan-pendekatan dalam metodologi studi islam

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif diberbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekadar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunujukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), namun cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Diketahui bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Alqur’an yang merupakan sumber ajaran Islam, misalnya dijumpai ayat- ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat- ayat yang berkenaaan dengan masalah tanaman dan tumbuh- tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian.

Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita perlu mengetahui dengan jelas pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam memahamai agama. Hal ini perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Untuk lebih jelasnya pendekatan tersebut dapat kita pelajari sebagai berikut:
1.        Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yamng menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Harus ditegaskan disini bahwa orang yang pertama kali menggagas sekaligus memperaktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang mandiri adalah ibn khaldun. Namun, sebagian besar sosiolog memandang kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui karl max dan august comte sebagai seorang yang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu sosiologi.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
a.         Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
b.        Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga masa kanak-kanak dan usia
c.         Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran dan birokrasi.
d.        Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.

Dalam al-quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan realitas tertinggi yang menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima selainnya. Namun disisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum waliyaddin).

2.        Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan lain sebagainya.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam kontek ini Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia sampai pada kesimpulan bahwa dasarnya kandungan Al-qur’an itu menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.

Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empirism dan mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarassan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dalam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena Agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.

3.        Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahamai agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang kurang mampu pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.

Melalui pendekatan antropologi sosok agamayang berada pada daratan empiric akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi dimasyarakat.

Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaan. Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian.

Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi adalah modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa prakyik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropologis harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan politik, magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.

4.        Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

Label “psikologi agama” seolah menunjukan bahwa bidang ini merupakan cabang psikologi yang concern dengan subjek agama, sejajar dengan psikologi pendidkan, atau psikologi olahraga, atau psikologi klinis. Akan tetapi kenyataanya, psikologi agama berada di bagian luar mainstream psikologi.

C.      Studi Islam Dalam Peta Kajian Ilmiah

Pembelajaran ilmu agama Islam  berusaha mendudukkan Islam sebagai objek studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara  analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis. Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan keagamaan agar terbangun  sikap dan perilaku  yang memiliki  komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan keIslaman yang dimilikinya.

Studi Islam pada peta kajian ilmiah adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”

Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim.

Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.

Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan interdisipliner.

Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan  dan kajian peristiwa kehidupan  sebagai laboratorium studi Islam pada  gilirannya akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama  keimanan dan akidah untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi  dalam diri seseorang  menjalankan dan  mentaati  nilai-nilai dasar agama  yang telah terinternalisasikan  dalam dirinya.

Meski demikian, beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam yang memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya, misalnya kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat keilmiahan intersubjektif.

Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan, khususnya dalam pemahaman sejarawan Barat. Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah karena kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian keIslaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.

Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. 

D.      Tujuan Mempelajari Metodologi Studi Islam

Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.

Islam sebagai agama tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti  ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal ajaran Islam telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek sosial keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama dan wilayah sosial dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri menjadi tidak jelas.

Studi Islam  yang dilakukan oleh kebanyakan sarjana-sarjana Barat  nonmuslim  disebut Islamic Studies. Islam bukan lagi  sebagai otoritas mutlak  bagi umat pemeluknya  dalam pengkajiannya, namun terbuka  bagi kalangan mana saja  untuk melakukan kajian Islam, baik secara selintas maupun mendalam.

Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk terkait “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan agama.

Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan  bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.

Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di Indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.

Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan   ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah, memasuki ke studi kawasan filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dan sebagainya.  Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini. Selain itu, untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.

E.       Manfaat Mempelajari Metodologi Studi Islam

Dengan mempelajari metodologi studi Islam memberikan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted, hal ini didasari atas adanya  pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu, baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang kita huni hari ini.  Mengimbangi alur pemikiran keagamaan seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan.
Menurut Amin Abdullah,” ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya untuk dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.

E.       Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam

Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka tentang standar nilai dan moralitas.

Dalam perjalanan panjang Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Menurut pendapat tokoh agama pada istilah wahyu  ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan  tidak hanya tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual. Oleh sebab itu, obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
a)        Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu konteks global.
b)        Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar seperti Yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
c)        Etika, seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan  semua menyepakati persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
d)       Keterliban sosial dan politis, komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
e)        Kajian teks dan kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengesampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan
f)         Konsep atau doktrin
g)        Estetika, dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di Tajmahal dan permadani di Persia
h)        Spiritualitas yang menekankan sisi dalam batin dari agama. Spritualitas muslim dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadits kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai cara yang berbeda pula.

F.       Islam Sebagai Objek Kajian

Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni al-Quran dan al-Hadits. Orang yang memeluk agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri. Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap  al-Quran dan al-Hadits sehingga timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran al-Quran dan al-Hadits juga sebagai objek kajian sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi, hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.

Islam disebut sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Ajaran Islam  yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk.

Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya maka dalam proses dan bentuknya kemudian Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits (tekstual dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan nilai-nilainya.

Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalam sejarah pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadits, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya. Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.

Selanjutnya Islam sebagai objek kajian  senantiasa menarik  seiring dengan berkembangnya  pendekatan, disiplin ilmu dan metodologi. Oleh karena itu pengkajian Islam  yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam  baik dari kalangan sarjana muslim sendiri maupun  maupun sarjana Barat tidak akan berhenti. Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih  merupakan kedinamisan Islam dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat muslim dalam mengaktualisasikan  ajaran-ajarannya, kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi karena  ingin memberikan tantangan Islam dari kalangan kontemporer.

G.      Islam Normatif Dan Islam Historis

Islam normatif adalah Islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ketuhanan. Kajian Islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqih, tasawuf, filsafat sebagai berikut:
1.        Tafsir: tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
2.        Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3.        Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
4.        Tasawuf: tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada tuhan
5.        Filsafat: tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran

Islam historis adalah Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ketuhanan. Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai barometer dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.

Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.

Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu. Kajian Islam historis melahirkan disiplin ilmu studi empiris yaitu antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama.
a.         Antropologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
b.        Sosiologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
c.         Psikologi Agama:disiplin ilmu yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.

Hubungan antara ketiganya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog bolak balik yang saling menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman. Menentukan bentuk hubungan yang pas antara historis dan disiplin studi empiris merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.

Menurut ijtihad, Amin Abdullah bahwa hubungan  antara historis dan disiplin studi empiris adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Walaupun secara realitas studi Islam keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah.

Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normative kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran histories nampak  relevan
 
BAB III
KESIMPULAN

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.

Pendektan antropolgi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karna dalam ajaran agama terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.

Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.
 
DAFTAR PUSTAKA

Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007

Fanani , Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Partanto, Pios A M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya : penerbit arkola, 1994

Conolly , Peter, Aneka pendekatan studi agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002).

Atang, abd.hakim & Jaih Mubarok. Metode studi islam.(Bandung: remaja rosdakarya 2009).

Kimia,tadris, Metodologi Studi Islam 2008. (Semarang : takimia production,2010

Nata, abbudin, metode studi islam,( Jakarta: Raja grafindo persada 2004

Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1999). h 25

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo 2009) h.  284

Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008)  h 180

Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),   h  50

Jackues Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji, Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Baru , 2003) h  3

0 comments: