BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum pada pokoknya adalah produk
pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang
mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan
(prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum
negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai
hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga
macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang
terkait dengan keputusan-keputusan itu.
Kadang-kadang, subjek hukum yang
terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena
itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu
masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan
organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa
norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma
hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila
subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu
secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut
sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general
norms).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan dalam makalah ini adalah bagaimanakah
makna hukum sebagai produk sebuah keputusan.
C.
Tujuan
Tujuan dalam
makalah ini adalah mengetahui
makna hukum sebagai produk keputusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna
Hukum Sebagai Produk Keputusan
Hukum pada pokoknya adalah produk
pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang
mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan
(prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum
negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil
tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam
keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait
dengan keputusan-keputusan itu.
Kadang-kadang, subjek hukum yang
terkena adalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena
itu adalah subjek hukum pada umumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itu
masih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang terkena akibat keputusan
organisasi negara itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa
norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma
hukum yang bersifat individual-konkret (individual and concret norms). Tetapi apabila
subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu
secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut
sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general
norms).
Keputusan-keputusan yang bersifat umum
dan abstrak (general and abstract) tersebut biasanya bersifat mengatur
(regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan
keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) atau
pun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazim-nya disebut dengan istilah
putusan. Oleh karena itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan
tersebut, dapat dibedakan dengan istilah:
1)
Pengaturan
menghasilkan peraturan (regels).
Hasil
kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak di-sebut dengan istilah lain
kecuali “peraturan”;
2)
Penetapan
menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings). Hasil kegiatan penetapan
atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk
disebut “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, seperti
misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah
“penetapan” untuk sebutan bagi keputus-an-keputusan administrasi di bidang
judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “Ke-tetapan”
yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk
“gerund” atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya; dan
3)
Penghakiman
atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak
jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara
gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari
kata “tetap”, dan “aturan” yang berasal dari “atur”. Namun, karena istilah ini
sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan
judisialhakim atas perkara yang diadili disebut putusan.
Kewenangan untuk mengatur atau membuat
aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif
yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para wakil
rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan
membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of libertyof the
souvereign people). Namun demikian, cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula
memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat
untuk umum, apabila para wakil rakyat sendiri telah memberikan persetujuannya
dalam undang-undang.
Karena itu, apabila mendapat
pendelegasian kewenangan, cabang kekuasaan eksekutif dan judikatif juga dapat
membuatperaturan, sehingga dapat dikatakan bahwa kewenangan mengatur itu juga
dimiliki baik (a) oleh cabang kekuasaan legislatif, (b) cabang kekuasaan
eksekutif, maupun (c) oleh cabang kekuasaan judikatif. Oleh karena itu, di
samping menetapkan putusan (vonnis), pengadilan juga memiliki kewenangan
regulasi yang dapat juga disebut sebagai ‘judicial legislation’. “Judicial
legislation” dapat diartikan dengan pernyataan, “It is the rule-making powerof
the superior courts for the regulation of their own proced true form of
legislation except that it cannot create new law by way of precedent”[4]1.
Demikian pula cabang kekuasaan
eksekutif juga mempunyai kewenangan regulasi yang dapat pula disebut sebagai
“executive legislation” yang menurut Mian Khurshid, “It is the legislationby
the executive for conducting the adminsitrative departments of a
State”.“Executive legislation”itu merupakan peraturan yang dibuat oleh
eksekutif untuk menjalankan roda peme-rintahan negara.“Where the Act does not
contain the whole legislation but delegates to a foreign authority to legislate
in the matter, it is subordinate or delegated legislation. There has grownup a
practice whereby the statuteconfines itself to the general provisions and
leaves the details to be worked out in departmental regulations operating under
the statute. Such regulations furnish examples of subordinate or delegated
legislation”2. Sudah menjadi kebiasaan
umum di dunia bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen hanya mengatur
garis besar ketentuan yang diperlukan, sedangkan rincian operasionalnya diatur
lebih lanjut oleh pihakeksekutif sendiri yang lebih mengetahui rincian
persoalan yang perlu diatur.
Dalam sistem preseden (common law),
putusan hakim (vonnis) menjadi sumber hukum yang utama. Sesuai dengan doktrin
‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi
hakim yang terkemudian. Namun, dalam sistem ‘civil law’ yang dianut oleh
negara-negara Eropa Barat, termasuk Indo-nesia, yang lebih diutamakan adalah
‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Namun demikian, karena
perkembangan zaman, baik di lingkungan negara-negara yang menganut “civil law”
maupun “common law”, dewasa ini, bentuk peraturan tertulis berkembang semakin
penting. Bahkan dikatakan, “Legislation or law-making by the formal declaration
in statutory form of rules by a competent authority is the most powerful and
yet the latest of the law-making instruments. Statute lawis today the principle
source of law and is a very conve-nient method of making law”.
Betapapun, antara undang-undang
tertulis atau “statutelaw” (legislative act) dan putusan hakim sebagai
“judge-made law” atau “judiciary law” memang berbeda satu sama lain. Menurut
John Austin, “statute law” itu adalah setiap hukum yang dibuat secara langsung
atau melalui proses legislasi sebagaimana mestinya (any law which is made
directly or in the way of proper legisla-tion). Sedangkan “judiciary law”
merupakan hukum yang dibuat secara tidak langsung atau melalui peradilan atau
legislasi yang tidak semestinya (any law which is made indirectly or in the way
of judicial or improper legislation)3.
1.
Kelebihan “Statutory law”
Peraturan tertulis dalam bentuk
“statutory laws” atau “statutory legislations” dapat dibedakan antara yang
utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang
utama disebut juga seba-gai “legislative acts”, sedangkan yang kedua dikenal
juga dengan istilah “executive acts”, “delegated legislations”, atau
“subordinate legislations”. Peraturan yang berben-tuk tertulis yang disebut
“statutory laws” itu pada pokoknya mempunyai beberapa kelebihan utama apabila
dibandingkan dengan hukum buatan hakim atau “judiciary law” sesuai dengan asas
preseden(precedent).
Beberapa kelebihan yang biasa dikenal
dapat dikemukakan bahwa: (i) “Legislation is both constitutive and abrogative,
whereas precedentmerely possesses constitutive efficacy”; (ii) “Legislation is
not only a source of law, but is equally effective in increasing, amending, or
annulling the existing law. Procedent on the other hand, cannot abrogate the
existing rule oflaw, although it may produce very good law and in some respects
better than legislation”; (iii) Di samping itu, asas presedenjuga tidak dapat
menelusuri jejaknya sendiri (it cannot retrace its steps). Sedangkan “legislation
as a destructive and reformative agent has no equal”; (iv) “Legislation allows
an advantageous division of labour by dividing the two functions of making the
law and administering it. This results in increased efficiency”. Sedangkan
sistem precedent, dapat dikatakan menggabungkan 2 (dua) fungsi sekaligus di
satu tangan, yaitu hakim.
Di samping itu ada pula beberapa
kelebihan lainnya, yaitu (v) prinsip keadilan menghendaki agar hukum sudah
lebih dulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakkan oleh aparat
penegak hukum dan diterapkan di pengadilan. Akan tetapi, “the judiciary law”
atau disebut juga “the case law” diciptakan dan dideklarasikan berlakunya
bersamaan waktunya dengan tindakan penegakan dan penerapannya. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa “case law” bekerja secara retro-spektif, yaitu dengan
diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa sebelum norma hukum itu
sendiri ditetapkan (Case law operates retrospectively, being applied to the
facts which are prior in date to the law itself); (vi) Legislasi dapat dibuat
dalam rangka meng-antisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem
‘precedent’harus lebih dulu menunggu terjadinya perselisihan sebelum pengadilan
dapat membuat putus-an yang bernilai dalam rangka ‘rule of law’(Legislation can
make rules in anticipation of cases that have not yet arisen, whereas precedent
must wait for the occurance of some dispute before the Court can create any
definiterule of law).
Pada hakikatnya, ‘case-law’mengandung
sifat-sifat “ex post facto”. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Sir John
Salmond, “precedent independent on, legislationin dependent of, the accidental
course of litigation”. Sistem ‘precedent’ bersifat independen terhadap,
sedangkan ‘legislation’ bersifat independendari peng-adilan; dan (vii)
“Legislation is superior form–brief, clear, easily accessible and
understandable whilst valuable part of case-law has to be extracted from a ton of
dross. One has to wade through the whole judgement before the ratio decidendi
can be found out or case-law discovered”. Secara figuratif, oleh Salmond
dikatakan, “Case-law is gold in mine a few grains of precious metal to the ton
of useless matter – while statute law is coin of the realm, ready for immediate
use”[5].
2.
Kelebihan “Case-law”
Namun demikian, ‘judge-made law’ atau
‘case law’ juga mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri apabila dibandingkan
dengan “statutory law” atau undang undang tertulis (staturoty legislation).
Kelebihan-kelebihan sistim “case-law” (judge made law) yang dapat dikemukakan
disini adalah:
a.
Moralitas
pengadilan, menurut A.V. Dicey, jauh lebih tinggi daripada moralitas para
politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan
hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan
politisi.“Legislation is the product of the will of politicians, who are
affected by the popular feelings and passions. That is why the judiciary often
denounces statutes as wrong, tyrannical, unjust or contrary to fundamental
principles laid down in the written Constitution”;[6]
b.
Undang-undang
sebagai hukum tertulis pada umumnya cenderung bersifat “rigid”, “straitly bound
within the limits of authoritative formulate”. Sebaliknya,“case law”–dengan
segala ketidak-Sempurnaannya bersifat lebih lentur (fleksibel) dan tetap
memiliki hubungan yang hidup dengan (remainsin living contact) dengan
penalar-an dan keadilan yang melatarinya;
c.
Dalam
“Statute law”, perumusan kata hukum (the letter of the law) mendahului“the true
spirit of the law”. Sedangkan dalam case-law, tidak ada “authoritative verbal
expression”, sehingga dikatakan oleh Sir John Salmond, “there is no barrier between
the Courts of justice and the very spirit and purpose of the law which they are
called to administer[7].
Sistem hukum
masing-masing negara memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Secara garis
besar terbagi menjadi dua yaitu sistem preseden (common law) dan sistem civil
law. Dalam sistem preseden putusan hakim (vonnis) menjadi
sumber hukum utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim
terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakhm dikemudian hari.
Sedangkan sivil law mengutamakan ‘statutory law’ atau
undang-undang tertulis. Statutory Law dapat dibedakan antara yang
utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary
legislations). Yang utama disebut dengan legislative acts, sedangkan
yang kedua disebut dengan executive acts or delegated legislations or
subordinate legislations. Prinsip statutory law menghendaki agar
hukum sudah terlebih dahulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakan
oleh aparat penegak hukum dan penegakan di pengadilan. Akan tetapi the
judiciary law atau disebut case law bekerja secara restroprektif
yaitu diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa sebelum norma
itu sendiri ditetapkan. Pada statutory law legislasi dapat dibuat dalam
rangka mengantisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem precedent
harus lebih dahulu menunggu terjadinya perselesihan sebelum pengadilan
dapat membuat putusan yang bernilai dalam rangka rule of law. Case law
memiliki kelebihan yakni moralitas pengadilan lebih tinggi dari pada moralitas
politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu hukum buatan
hakim lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran dari pada hukum buatan politisi[8].
Beberapa makna
hukum berdasarkan beberapa sektor
a.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan
penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan
lain-lain.
b.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim;
putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang
dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
c.
Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum;
hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang
bertugas. Pandangan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
d.
Hukum diartikan sebagai wujud sikap
tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum.
Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”.
Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah
aturannya/hukumnya.
e.
Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah;
kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini
dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang
berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi
pelanggar.
f.
Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda
dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan
yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek
kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat)
maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik
ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan
kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum,
keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk
hierarkis.[9]
g.
Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum
mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan
lain-lain, yang berlaku secara umum.
h.
Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang
diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis,
objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu
pengetahuan.
i.
Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin
hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan
das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang
dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan.
Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat.
Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus
sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi
penyimpangan pelaksanaan hukum.
j.
Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum
merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum
bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan
seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik.
Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu
dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota
masyarakat dapat berjalan aman dan tertib[10].
Hukum secara
terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat
memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat
banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu
di dalam suatu definisi. Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr.
W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.
ciri-ciri
Hukum :
a.
Terdapat perintah dan/atau larangan.
b.
Perintah dan/atau larangan itu harus
dipatuhi setiap orang.7
B. Sifat-sifat Hukum
Sedangkan
sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya
mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas
(berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan
bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak
semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.
C. Pembagian Hukum
Pada dasarnya,
hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan
Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah:Pidana pokok:
1. pidana
mati;
2.
pidana penjara;
3. pidana
kurungan;
4.
pidana denda;
5.
pidana tutupan.[11]
Pidana
tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang
tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.8
Pengertian
Negara : Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan
yang berada di wilayah tersebut.
Menurut Para
Ahli untuk pengertian Negara
a.
Prof. Farid S.
Negara adalah Suatu wilayah merdeka
yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
b.
Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan
dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
c.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi
kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan
kemerdekaan universal
d.
Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang
timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
e.
Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang
yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
f.
Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi
manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang
sama.
g.
Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat
yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya
sebagai sebuah kedaulatan.
h.
Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa
keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri
sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Sifat-sifat
Negara
1.
Sifat memaksa agar peratura perundang-undangan
di taati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapi serta
timbulnya anarki dicegah. Maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti
mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara lega.
2.
Sifat Monopoli : Negara mempunyai monopoli dalam
menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat
menyatakan bahwa suatu aliran ke percayaan atau aliran politik tertentu di
kurangi hidup dan disebarluaskan oleh karena dianggap bertentang dengan tujuan
masyarkat.
3.
Sifat mencakup semua (all encompassing, all
embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa
terkecuali[12].
Bentuk Negara
1.
Negara kesatuan :
Suatu negara yang mereka dan
berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang menatur seluruh daerah
secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara, yang
menggabungkan diri sedemikian rupa hingga menjadi satu negara yang
negara-negara itu mempunya status bagian-bagian. Negara Kesatuan dapat
berbentuk :
* Negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurs
oleh pemeintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
* Negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah
swatantra.
2.
Negara Serikat (Federasi) : Suatu negara yang
merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari
negara serikat itu. Negara-negara bagian itu asala mulanya adalah suatu negara
yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan
negara serikat, berarti ia telah melepaskan sebagian kekuasaanna dengan
menyerahkan kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan
satu demi satu (limiatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang
didelegasikan).
Kekuasaan Asli
ada pada negara bagian karena berhbungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan
kekuasaannya kepada negara serikat adlah hal-hal yang berhubungan dengan
hubungan luar negeri. Pertahanan Negara, Keuangan, dan urusan Pos. Dapat juga
diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintah federasi adalah urusan-urusan
selebihnya dari pemerintah negara-negara bagian (residuary powers).
D. Tugas Utama Negara
a. Mengatur
dan menertibkan gejala-gejala dalam masyarakat yang bertentangan satu sama
lain
b. Mengatur
dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk menciptakan tujuan bersama
yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan negara
Unsur Negara
1. Pendidikan
Penduduk negara adalah semua orang yang pada suatu wktu mendiami wilayah negara
mereka secara sosiologi lazim disebut rakyat dari negara itu. Rakyat dalam
huungan ini diartikan sebagai sekumpuan manusia yang dipersatukan oleh suatu
rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Ditinjau
dari segi hukum, rakyat merupakan warga negara suatu negara. Waraga negara
adalah seluruh indiidu yang mempunyai ikatan hukum dengan suatu negara
tertentu.
Menurut hukum
international, tiap-tiap negara berhak untuk menetapkan sediri siap yang akan
menjadi warga negaranya. Ada dua azas yang biasanya dipakai dalam penetuan
kewarganegaraan yaitu :
a.
Asas ius soli (law of the soil) menentukan warga
negaranya berdasarkan tempat tinggalnya, dalam arti siapapun yang bertempat
tinggal disuatu negara adlah warga negara tersebut.
b.
Asas Ius sanguinis (law of the blood) menentukan
warga negara berdasarkan pertalian darah, dalam arti siapapun seorang anak
kandung (yang sedrah seketurunan dilahirkan oleh seoran gwarga negara ternentu.
Maka anak tersebut juga dianggap wrga negara yang bersangkutan.
Tujuan Negara Republik Indonesia tercantum
dalam UUD 1945
“...untuk
membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial,..”[13]
E. Pengertian Pemerintah
Pemerintah
merupakan kemudi dalam bahasa latin asalnya Gubernaculum.
Pemerintah
adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat
kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan tertentu.
Kawasan tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka.
Pemerintah berbeda dengan pemerintahan. Pemerintah merupakan organ atau
alat pelengkap jika dilihat dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga
eksekutif saja. Sedangkan arti
pemerintahan dalam arti luas adalah semua mencakup aparatur
negara yang meliputi semua organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan
negara yang menjalankan berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan negara.
Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
F. Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan
Pemerintah
adalah Orang-orang yang menjalankan dan memiliki wewenang membuat kebijakan di
kawasan tertentu. sedangkan Pemerintahan merupakan organisasi atau wadah
orang yang mempunyai kekuasaan dan lembaga tempat mereka menjalankan aktivitas.
Keanggotaan
seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang
dengannya membawa hak
untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara[14]
2 kriteria
menjadi warga negara
a. setiap
orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
b. anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
Menurut pasal
26 UUD 1945
(1)
Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2)
Penduduk ialah warga negara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Hak dan
Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945
1.
Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2),
syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
2.
Pasal 27, ayat (1), segala warga negara
bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.
Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
4.
Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga
negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan
pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum pada pokoknya adalah produk
pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang
mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan
(prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum
negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai
hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga
macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang
terkait dengan keputusan-keputusan itu.
Beberapa makna
hukum berdasarkan beberapa sektor
1.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan
penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan
lain-lain.
2.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim;
putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang
dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
3.
Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum;
hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang
bertugas
4.
Hukum diartikan sebagai wujud sikap
tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum.
5.
Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah;
kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat.
Sifat hukum
adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam
masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa
saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar
kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati
kaedah-kaedah hukum itu.
DAFTAR
PUSTAKA
A.V. Dicey,
Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition,
(London: Macmillan Education Ltd., 1959).
Hadikusuma,
Hilman, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Lopa,
Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang 1987.
Rahardjo,
Satjipto, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
Siregar,
Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995.
Mian Khurshid A.
Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor Boo House, 1998), hal. 5.
J. L. Austin,The
Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of
Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).
Lopa, Baharuddin,
Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
1987.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Hukum Sebagai Produk Keputusan....................... 2
B.
Sifat-sifat Hukum.............................................................. 8
C.
Pembagian Hukum............................................................. 8
D.
Tugas Utama Negara ......................................................... 10
E.
Pengertian Pemerintah....................................................... 10
F.
Perbedaan Pemerintah dan Pemerintahan.......................... 11
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................ 12
DAFTAR
PUSTAKA
3 J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and
the Uses of the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson,
1954).
[6] A.V. Dicey,
Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Tenth Edition,
(London: Macmillan Education Ltd., 1959).
[8] Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan Dan
Penegakan Hukum Di indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 1987.
[9] Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan
Tuhan. Bandung: Gema Insani Press, 1995
[10] Rahardjo, Satjipto, Hukum
dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 1981.
7 Dr. W.L.G.
Lemaire. Het Recht in Indonesia
[11] KUHP pasal 10
8 Pasal 10,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
[12] Ibid.
[13] UUD 1945
[15] Hadikusuma, Hilman,
Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992
0 comments:
Post a Comment