BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata keadilan merupakan hal yang diinginkan oleh mayoritas
manusia di dunia ini. Akan tetapi ternyata keadilan, yang dalam makalah ini
merupakan keadilan yang dihasilkan melalui keputusan pengadilan. Beberapa kasus
menunjukkan betapa ternyata banyak pihak-pihak yang berperkara menyatakan
sangat tidak puas, dan merasa bahwa keputusan para hakim tidak adil, meskipun
ternyata klaim-klaim seperti ini tidak hanya muncul dari satu faktor saja, akan
tetapi ini merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini muncul dari
beberapa hal baik, hal inilah yang akan kami coba uraikan pada makalah ini,
dengan tidak mengesampingkan beberapa contoh yang akan bisa membantu untuk
memahami kondisi dan peluang keberpihakan hukum tersebut. Tentu saja dalam
melihat bagaimana kondisi peradilan di Indonesia, khususnya peradilan agama,
kita harus lebih memfokuskan analisa kita terhadap kondisi yang ada dan aktual.
Dengan begitu, akan bisa didapatkan faktor-faktor apa saja yang memberikan
peluang untuk munculnya keberpihakan dalam hukum. Kapan dan bagaimana munculnya
keberpihakan hukum tersebut, kepada siapakah hukum ini berpihak, dan lain
sebagainya adalah hal yang akan kami coba uraikan dalam makalah ini.
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang diatas permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah
keberpihakan hukum perundang-undangan yang terjadi di indonesia.
C. Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
keberpihakan hukum dalam perundang-undangan indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan hukum
Dilihat dari mekanisme
pembentukannya maka dapat dikatakan bahwa hukum bertujuan sebagai alat negara untuk
menentramkan rakyatnya dari rasa takut dan dengan demikian menciptakan ketentraman dan keserasian
dalam masyarakat. Dengan demikian, Hukum tidak dapat dipisahkan dari negara sehingga
secara Mutatis Mutandis tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara, kapan
kekuasaan negara itu terbentuk?, kekuasaan negara terbentuk dari proses politik
yang jika kita terjemahkan ke Indonesia proses politik tersebut dibentuk 5 tahun
sekali pada proses pemilu. Proses politik melalui pemilu inilah yag kemudian menjadi
sebuah proses pembentikan hukum pada proses berikutnya.
Pada wilayah penegakan
hukum, kita tidak dapat melepaskan diri dari proses pembentukan hukum/undang-undang,
walaupun beberapa ahli banyak yang berpandangan bahwa sebuah peraturan perundang-undangan
dalam proses pembentukannya memang merupakan sebuah proses politik, tapi pada proses
penerapannya harus dipahami sebagai sebuah proses yang independen. Sebuah pengalaman
yang sering penulis alami dalam melakukan pendampingan kasus pidana bahwa sebuah
tindak pidana yang sudah merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam hal ini
kepolisian untuk melakukan penyelidikan/ penyidikan dan merupakan kewajiban bagi
kepolisian untuk menegakkan hukum sesuai dengan kewenangannya, namun dalam beberapa
kasus, kepolisian tidak akan menindaklanjuti proses sesuai aturan apabila tidak
didesak.
Apabila kita berpandangan
bahwa, proses penerapan hukum senantiasa independen dan tanpa interpensi, maka sudah
seharusnya hakim tidak perlu menyatakan bahwa peradilan terbuka untuk umum, karena
sesungguhnya persidangan yang terbuka untuk umum merupakan bentuk pertanggung jawaban
pengadilan kepada masyarakat. Untuk itu dalam proses apapun, baik itu pada wilayah
pembentukan hukum hingga penerapannya tidak
dapat dilepaskan dari interpensi dalam bentuk apapun, karena hukum hidup tidak dalam
ruang hampa.
B.
Pengertian Kelas dan Pembentukan Kekuasaan
Mari kita belajar
dari beberapa undang-undang yang jika dikaji merupakan sebuah peraturan yang menguntungkan
suatu kelas tertentu dalam masyarakat, dan kemudian menyingkirkan kelas tertentu
pula.
Perlu penulis bahas
secara singkat apa yang penulis maksud dengan “kelas” Dalam hal ini kelas
yang penulis maksud adalah kelas yang menurut Marxisme sebagai posisi sesorang/masyarakat
terhadap faktor-faktor produksi, kelas yang penulis maksudkan bukanlah tentang kaya
atau miskin, karena kaya ataupun miskin menurut Marxisme ditentukan oleh
kedekatan seseorang terhadap faktor-faktor produksi, faktor-faktor produksi yang
dimaksud oleh marx adalah tiga komponen penentu pemenuhan kebutuhan hidup manusia
yaitu alat kerja, tenga kerja, dan lahan
kerja faktor-faktor produksi inilah yang dimaksud dengan Modal (Kapital)
Untuk memudahkan,
mengerti tentang kelas yang penulis maksud disini penulis akan memberikan contoh
sebagai berikut: Kita contohkan antara buruh dan pengusaha, buruh merupakan kelas
yang tidak memiliki faktor-faktor produksi, sementara pengusaha memiliki/memonopoli
faktor-faktor produksi, kita tahu bahwa sesorang yang tidak memiliki faktor-faktor
produksi berarti tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk
itulah seseorang yang tidak memiliki faktor-faktor produksi tersebut dengan terpaksa
harus menjual tenaganya kepada yang memiliki faktor-faktor produksi[1].
Tentunya, tujuan
pengusaha tersebut tidak semata untuk memuluskan proses bisnisnya, tapi lebih dari
itu menginterpensi pembentukan kebijakan pada wilayah regulasi (pembentukan undang-undang).
Begitulah proses
kelas bekerja hingga terbentuknya sebuah regulasi, proses politik kekuasaan kelaslah
yang menentukan pembentukan hukum, walaupun beberapa ahli mengatakan bahwa hukum
itu tidak hanya yang tertulis, tapi perlu diingat bahwa kebanyakan penegak hukum
Indonesia masih sangat normatif dalam menegakkan hukum.
Kita sering melihat
bagaimana penetapan kawasan hutan lindung secara semenah-menah mengakibatkan penduduk
yang sebelumnya mendapatkan makan dari hasil hutan harus diusir (setahu penulis
masyarakat dengan kemampuan teknologi pengelolaan hutan yang terbatas tidak akan
memperburuk pemeliharaan hutan), sementara pembabatan hutan oleh pemegang (pengusaha)
HPH tidak tersentuh sama sekali, malah dibiarkan dengan alasan mereka telah memenuhi
syarat karena telah mengantongi HPH. Yang perlu ditanyakan adalah proses pembuatan
regulasi yang membolehkan pengelolaan hutan oleh pemegang HPH adalah siapa?, dan
peraturan yang dengan semenah-menah menetapkan kawasan hutan lindung dan menjauhkan
masyarakat dari proses lingkungannya adalah siapa?.
Dengan demikian Hukum
adalah salah satu alat rejim penguasa dalam mempertahankan kekuasaan kelasnya. Kelas
berkuasa memanfaatkan segala tenaga dan upaya untuk menjaga posisi kelasnya, termasuk
membentuk sistem kekuasaan negara yang berdiri jauh dari intervensi masyarakat secara umum. Dari sini, negara membuat
sebuah sistem hukum untuk mengikat masyarakat agar tidak berniat untuk merebut kekuasaan.
Hal di atas dapat kita gunakan untuk menganalisis konteks hukum Indonesia hari ini,
banyak sebuah peraturan hukum yang dibuat sebenarnya sangat jauh dari kondisi masyarakat.
Buktinya dapat kita
lihat dari berbagai kebijakan yang dikembangkan negara ini, dari mulai kebijakan
ekonomi, politik, pengembangan budaya, sampai
peraturan hukum semua ditujukan untuk bagaimana memperlihatkan penghambaan negara
Indonesia terhadap modal baik lokal maupun internasional. Pengembangan sistem hukum
di Indonesia semua diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan bos-bos mereka yang
tegabung dalam perkumpulan negara-negara G-8.
Produk hukum seperti
Undang-Undang Penanaman Modal 2007, Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003, PERPU Kawasan
Ekonomi Khusus 2007, Undang-Undang BHP, semuanya tidak lepas dari sebuah kebijakan
yang lebih menguntungkan korporat-korporat Internasional yang dipaksakan melalui
IMF dan WTO juga menuntungkan korporat nasional.
Konstitusi negara
kita telah mengatur tentang kesamaan setiap warga negara di mata hukum, tapi kenyataannya
sistem hukum yang dibangun di Indonesia tidaklah seperti itu. Seorang pencopet misalnya,
yang hanya merugikan satu orang harus mendapatkan perlakukan yang tidak setimpal
dengan perbuatannya. Bandingkan dengan seorang koruptor yang telah merugikan ribuan
masyarakat Indonesia dihukum dengan hukuman penjara yang tidak begitu lama, sudah
begitu mendapatkan penjara yang sejuk dan ber-AC, bahkan tidak sedikit di antara
mereka yang tidak dapat dijerat hukum (kebal hukum). Hal tersebut adalah contoh
kecil keberpihakan sistem hukum indonesia.
C.
Pembuatan Hukum Tanpa Kontrol Masyarakat
Sebelumnya, telah
dijelaskan bahwa sistem hukum Indonesia diarahkan untuk sebuah kepentingan proyek
besar pemerintah yang sering disebut kebijakan neoliberal. Hal ini diakibatkan oleh sebuah proses pembuatan
hukum yang berjalan tanpa adanya kontrol masyarakat secara luas.
Partisipasi masyarakat
dalam politik, yang pada akhirnya akan melahirkan sejumlah kebijakan dan hukum,
ditentukan melalui proses Pemilihan Umum (Pemilu) setiap empat tahun sekali. Masyarakat yang tidak sadar dimobilisasi untuk
memilih para wakil rakyat yang akan membuat sebuah peraturan hukum. Setelah itu,
selesai sudah proses kontrol masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat
pada semakin leluasanya pemerintah negeri ini untuk berbuat apa saja yang mereka
inginkan dalam proses pembuatan peraturan hukum, maupun dalam menjalankannya.
Sementara itu, pemerintah
juga membatasi masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan
dengan berbagai aturan-aturan hukum yang mereka tetapkan sendiri. Bahkan, mereka
juga mengebiri organisasi gerakan rakyat yang selama ini mengontrol kekuasaan karena
semua harus berada dalam jalur hukum yang telah mereka buat. Parahnya karena kontrol
terhadap peraturan yang mereka buat dilakukan oleh “mereka-mereka” juga, peran masyarakat
dalam kontrol pelaksanaan peraturan sangatlah kecil sehingga memungkinkan terjadinya
penyelewengan hukum di mana-mana. Inilah yang menyebabkan sistem hukum kita lebih
berpihak pada korpporat-korporat asing, karena sangat terbuka peluang untuk mengadakan
kongkow-kongkow dengan para korporat tersebut.
Tidaklah heran bila korupsi semakin berkembang di negeri ini, yang tidak
hanya melibatkan eksekutif dan legislatif tapi juga melibatkan para penegak hukum.
D.
Mempertegas Kontrol Masyarakat
Hukum adalah produk
politik, siapa yang berkuasa pada kekuasaan politik, dialah yang memegang peran
dalam setiap pengambilan kebijakan yang ada. Di negara kita (bahkan di negara manapun
itu di belahan dunia ini) proses pengambilan kebijakan ditentukan oleh posisi politiknya.
Tidak akan ada sebuah produk hukum yang berkeadilan tanpa dilandasi oleh sebuah
sistem politik yang demokratis, sementara kekuatan politik Indonesia didominasi
oleh mereka yang pro kebijakan neoliberal, sehingga kebijakan hukum negara inipun
selalu berpihak pada pemilik modal. Hegemonisasi kapitalisme yang semakin massif
dipasok, entah itu dengan ilusi politik liberal maupun dengan hegemoni media-media
kapitalis yang selama ini banyak berperan dalam pembentukan opini publik, juga telah
memberikan ilusi keadilan bagi masyarakat. Maka untuk merubah sebuah sistem hukum
agar menjadi berkeadilan, sebuah kontrol masyarakat mutlak dibutuhkan. Ini untuk
mencegah sebuah pemerintahan yang berjalan dan mengambil tindakan sendiri. Selain
itu, kita harus berbesar hati mengakui bahwa kelompok progresif Indonesia (yang
selama ini melakukan kontrol) sejauh ini hanya membatasi gerakan mereka dalam mengkritisi
kebijakan, tanpa berusaha lebih jauh terlibat dan mendorong kesadaran masyarakat
ke dalam proses pembuatan kebijakan. Hal yang paling penting adalah kekuatan melawan
hegemoni yang dilakukan oleh kelompok progresif tidak mampu menyaingi hegemonisasi
negara. Untuk itu, kelompok progresif penting memiliki sebuah media yang mampu menjangkau
hingga ke pelosok dalam memasok kesadaran sejati bagi rakyat.
E.
Peluang Munculnya Keberpihakan Hukum.
Di tengah-tengah
berbagai pemberantas kejahatan, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum di Indonesia.
Berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan
dakwaan korupsi atau suap. Mafia peradilan marak dituduhkan. Hukum seolah dapat
dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial
yang tinggi.
Tidak terlalu
berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah kehilangan
kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaan tertentu
kerap melakuan proses pengadilan jalanan. Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan,
“mengapa hukum sulit ditegakkan?” Bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya “apakah
hukum di Indonesia sudah mati?”.
Bagi masyarakat
Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada
tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan
hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya,
bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Dalam melihat
peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita bisa menganalisa beberapa faktor
terkait, seperti politik hukum, sistem hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
1.
Politik
Hukum.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa politik hukum Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keadilan berdasarkan kemakmuran, ketertiban dan kepastian hukum.[2] Politik
hukum juga akan memberikan ruang dan peluang untuk mengarahkan kepada siapakah hukum
akan berpihak.
Tiga fungsi
hukum, social enginering, alat justifikasi dan social control[3] tampaknya
perlu juga mendapatkan perhatian. Bagaimanapun juga, keinginan para pembuat hukum
untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu kondisi dengan hukum mungkin akan ternodai
dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
2.
Sistem
Pembuatan Undang-Undang.
Idealnya
pembuatan hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat.[4] Akan
tetapi ketika hak untuk membuat dan menetapkan hukum ini ada ditangan para wakil
rakyat, maka hukumpun bisa jadi tidak mencerminkan nilai-nilai yang disepakati oleh
rakyat, akan tetapi seperti pada faktanya di Indonesia, hukum merupakan kesepakatan
pembuat hukum yang berlabel wakil rakyat, meskipun pada sebagian oknum, fungsinya
bukan sebagai wakil rakyat.
Dengan
begitu, peluang untuk munculnya keberpihakan hukumpun muncul dalam proses ini. Kepentingan-kepentingan
individual ataupun kelompok pembuat hukum bisa jadi memunculkan hukum yang pandang
“bulu”.
Dalam pemilihan
nilai-nilai ini, akan sering terjadi konflik antara pembuat hukum. Dalam hal ini,
menurut Chambliss, ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam pembuatan hukum:
1.
Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses
adu kekuatan, dimana negara merupakan senjata ditangan lapisan yang berkuasa.
2.
Sekalipun terdapat pertentangan nilai, mungkin
saja mereka yang berpartisipasi dalam hal ini bisa tetap dipandang sebagai seorang
yang netral.[5]
Bila dalam
proses pembuatan hukum ini muncul peluang keberpihakan hukum, maka mereka yang ingin
menyelewengkan hukum bisa mendekati dan mempengaruhi tim pembuat hukum agar hukum
yang ditetapkan nantinya sesuai dengan kepentingannya.
Selain
itu juga ternyata pada faktanya, suatu penetapan hukum belakangan bisa menjadi peluang
untuk munculnya keberpihakan hukum. Bila seseorang diputus menjalani hukuman penjara
selama 20 tahun, akan tetapi beberapa tahun setelah keputusan itu ditetapkan, diaturlah
undang-undang yang menetapkan bahwa terpidana penjara akan mendapatkan keringanan
hukum bila berlaku baik. Apakah undang-undang ini tidak dibuat untuk kepentingan
seseorang saja?
3.
Sistem
Peradilan.
Dalam hal
ini, kami lebih cenderung untuk mengangkat sistem peradilan pidana, karena dalam
peradilan inilah keberpihakan hukum lebih banyak disorot. Peradilan adalah tiang
teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana merupakan sistem penanggulangan
kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Selanjutnya terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana.
Pada umumnya,
penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti
penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui
empat tahap/proses sebagai berikut: (1)penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan;
(2) penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan ; (3)penerapan kebijakan/kewenangan
pemidanaan; dan (4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana[6].
Keempat
tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral.
Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud
dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
Kenyataannya,
peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui
umum bekerja sama satu sama lain, yaitu kepolisian-kejaksaan-pengadilan dan lembaga)
pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated
criminal justice administration".
Sistem
penunjukan hakim atau majlis hakim oleh ketua pengadilan di setiap tingkat pengadilan
juga merupakan salah satu peluang untuk munculnya keberpihakan hukum. Hak absolut
untuk menunjuk hakim atau majlis hakim yang akan mengadili sebuah perkara ada di
tangan ketua pengadilan, maka dengan begitu, mereka yang ingin melakukan penyimpangan-penyimpangan
prilaku peradilan bisa memanfaatkan momen ini. Bila polisi dan jaksa tidak mau bersikap
koperatif terhadap tindak pidana yang akan diajukan ke meja hijau, maka peluang
yang muncul untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan peradilan, seperti
menyogok, bisa meminta ketua pengadilan bagaimnapaun caranya agar menunjuk hakim
yang kemungkinan berpihak kepadanya.
Bila hak
absolut penunjukan hakim ada di tangan ketua pengadilan, maka begitu juga dengan
penunjukan jaksa penuntut umum yang ada di tangan ketua kejaksaan di setiap tingkatnya.
Peluang keberpihakan hukumpun akan muncul di sini.
F.
Problem Dalam Menegakkan Hukum Tanpa Keberpihakan.
Ada beberapa
problem yang akan dihadapi oleh masyarakat dalam mewujudkan hukum tanpa keberpihakan.
Beberapa diantara problem tersebut kami uraikan sebagai berikut: Pertama, sulitnya
penegakan hukum berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat. Paling tidak
ada dua alasan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan
tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan
atau tidak. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya
jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Konsekuensinya
UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di Indonesia bahkan menjadi
UU mati[7].
Kedua,
peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini terjadi terhadap
pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dan dianggap sebagai
komoditas. Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang
memperhatikan isu penegakan hukum, sepanjang trade off telah didapat.
Selanjutnya,
problem muncul karena masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar
merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan. Sebagai pencari
kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang
tidak. Tipologi masyarakat pencari kemenangan
merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang
berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan
kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman[8].
Problem
selanjutnya sebagai penyebab keberpihakan hukum adalah pengaruh uang. Di setiap
lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan
terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap. Uang dapat berpengaruh pada saat
polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat
diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa
berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan. Apabila penuntutan diteruskan,
uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan. Di institusi peradilan, uang
berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan
atau membebaskan seorang terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang,
hukuman bisa diatur agar serendah dan seringan mungkin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan
uang juga berpengaruh karena yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih
baik dan manusiawi.
Problem
berikut adalah penegakan hukum telah menjadi komoditas politik. Pada masa pemerintahan
Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan
hukum bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh
kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakan
hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan
kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi
penegakan hukum akan dibuat lemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit
politik yang menjadi pesakitan.
Problem
lain terkait dengan sumber daya manusia. Di awal kemerdekaan, institusi hukum diisi
oleh sumber daya manusia yang terbaik kala itu. Tidak sedikit dari hakim ataupun
jaksa menjadi guru besar di berbagai fakultas hukum universitas ternama. Profesi
hakim dan jaksa sangat dihormati.
Penghasilan
profesi hakim dan jaksa ketika itu sangat baik bila dibandingkan dengan advokat.
Namun pada tahun 1970-an, dunia keadvokatan mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Kompensasi yang didapat sebagai advokat jauh melebihi hakim dan jaksa. Akibatnya,
para lulusan terbaik dari universitas ternama cenderung ingin menjadi advokat dan
menjauhkan diri dari profesi hakim dan jaksa. Ini berarti banyak sumber daya manusia
yang baik dan memiliki integritas lebih memilih bekerja di sektor swasta, sementara
yang biasa-biasa dari segi kemampuan dan integritas akan memasuki sektor publik.
Bila sektor
publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas maka penegakan
hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan peranan uang dalam penegakan
hukum. Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia
advokat dapat dibedakan antara advokat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim,
jaksa, polisi, pendeknya advokat yang tahu koneksi. Mengingat tipologi masyarakat
di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila berhadapan dengan hukum mereka
lebih suka dengan advokat yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. Mafia
peradilan pun terpicu untuk terjadi.
Problem
lain dari lemahnya penegakan hukum adalah penganggaran bagi infrastruktur hukum
oleh negara tidak dialokasikan secara memadai. Insitusi pengadilan yang seharusnya
menunjukkan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan, bahkan
dalam ukuran yang tidak sebanding dengan ke-angkeran-nya.
Problem
berikutnya adalah, disadari ataupun tidak, penegakan hukum di Indonesia telah memasuki
situasi yang dipicu oleh pers. Tentu ini positif, hanya saja yang perlu diperhatikan
adalah dampak sesaatnya. Timbul tenggelamnya penegakan hukum terhadap suatu kasus
seolah bergantung pada media massa. Tidak dapat dihindari kesan bahwa penegakan
hukum sebatas apa yang diselerakan oleh media massa. Adalah bukan suatu harapan
bila penegakan hukum sekedar dikendalikan oleh
pers .
G.
Reformasi Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan
Tanpa Keberpihakan.
Dari semua
uraian diatas, akhirnya kami menyimpulkan bahwa dunia hukum Indonesia membutuhkan
reformasi hukum, atau meluruskan dan menjalankan reformasi yang telah digagas sebelumnya.
Ada beberapa konsep dan gagasan reformasi hukum dalam menuju hukum tanpa keberpihakan.
Gagasan dan konsep ini kami simpulkan dari berbagai sumber.
Pada dasrarnya,
hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat yang damai dan adil. Jika
ketertiban umum harus merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum itu haruslah
merupakan suatu keadaan tertib yang adil, sesuai pengertian keadilan sebagai substansi
dari tertib hukum dan ketertiban hukum, sehingga fungsi utama dari hukum pada akhirnya
adalah untuk menegakkan keadilan. Adil tidak adilnya hukum ditentukan oleh sikap
yang diambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Pelaksanaan hukum dan
penerapan hukum yang adil mengandung arti yang sama bagi setiap orang dan yang berjalan
sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum, ini tergantung pada struktur sosial
yang adil, yaitu masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat perbedaan kekuasaan
yang besar dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka ragam bentuk dan variasinya.
Kita mungkin
menghendaki adanya suatu penegakan hukum di Indonesia yang betul-betul berpihak
kepada rakyat kecil. Namun, ternyata kita mengetahui bahwa penerapan hukum di mana
pun di dunia ini selalu tidak berpihak pada rakyat kecil yang miskin, "Laws
grind the poor, and rich men rule the law" - Hukum melindas yang miskin, sementara
yang kaya mengatur hukum-dan "Laws like spider's web; if some poor weak creature
come up against them, it is caught; but a bigger one can breakthrough and get away"
- Hukum seperti sarang laba-laba; bila yang miskin dan lemah datang melawan, maka
akan terjaring; tetapi yang besar dapat menerobos dan lolos. Bahkan di Indonesia
telah lama terdengar plesetan KUHP sebagai "Kasih Uang Habis Perkara".
Yusuf Leonard
Henuk, dalam artikelnya, mengemukakan cara untuk mewujudkan hukum yang adil tanpa
keberpihakan bahwa kapan saja bila ketiga komponen peradilan pidana di Indonesia
(kepolisian, kejaksanaan, pengadilan) melaksanakannya secara jujur dan terbuka (trial
and fair) maka penegakan hukum yang benar dan adil yang bertitik tolak dari postulat
peradilan, kemasyarakatan, kepatutan akan tercapai.[9] Hanya
penegakan hukum yang mengandung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan
yang dapat mencapai kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Penegakan hukum bukan
semata-mata menegakkan peraturan perundang-undangan dan hukum saja, tetapi harus
ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice),
alasannya adalah sesuatu yang wetmatig (legal) belum tentu rechvaardig (justice);
sesuatu yang rechmatig (lawful) belum tentu rechvaardig (justice). Akan tetapi sesuatu
yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan, pasti mengandung
nilai-nilai kebenaran dan keadilan
H.
Konsep Reformasi Hukum
Setelah
melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus
mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi
Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa
konsep yang perlu diwujudkan antara lain:
1.
Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan
pengambilan keputusan oleh aparatur negara
2.
Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas
dan tidak memihak.
3.
Aparatur penegak hukum yang profesional.
4.
Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
5.
Pemajuan dan perlindungan HAM.
6.
Partisipasi publik.
7.
Mekanisme kontrol yang efektif.
Pada dasarnya
reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang meliputi:[10]
1. Struktur Hukum
Struktur
hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri
atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja
mereka.
2. Substansi Hukum.
Substansi
hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan
sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3. Budaya Hukum.
Budaya
hukum ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya,
dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri[11].
Kiranya
dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan
antara lain:
1.
Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga
hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas.
2.
Perumusan kembali hukum yang berkeadilan.
3.
Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran hukum.
4.
Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum.
5.
Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap hukum.
6.
Penerapan konsep Good Governance.
Banyak
solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Sebagian telah diakomodasi sebagai
kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif,
hanya memadai untuk sesaat, tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan, sekedar
untuk memenuhi suatu kebutuhan, bahkan diadopsi agar pemerintah mendapat dukungan
publik[12].
Ada beberapa
fundamen yang harus diperhatikan menurut beberapa tokoh hukum, dalam mewujudkan
hukum yang mempunyai keadilan. Solusi dibawah ini adalah solusi yang lebih konkrit
yang ditawarkan oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Fundamen
terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima
berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi
menyangkal berbagai problem yang ada karena penyangkalan sama saja menjadikan apapun
solusi menjadi tidak relevan.
Fundamen
kedua bagi solusi adalah pembenahan memerlukan kesabaran yang tinggi karena harus
disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sayangnya pengambil
kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan
solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi
‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya, solusi demikian tidak memberikan
hasil, justru menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menurut
hukum dan ilmu pengetahuan hukum.
Fundamen
berikut adalah problem yang dihadapi harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum
sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan
ilmu hukum.
Problem
penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development
yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli
hukum yang terlibat dalam mencari solusi harus memiliki pengetahuan lain selain
hukum, khususnya ilmu sosial.
Fundamen
keempat adalah kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Mengedepankan
kesejahteraan harus dilihat sebagai fundamen dari solusi dengan dua tujuan. Pertama,
agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik
minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas
ternama.
Selanjutnya,
untuk menghindari kesan tebang pilih perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dapat menjaga konsistensi, paling tidak
semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan
hukum dilakukan secara konsisten. Fundamen kelima adalah upaya membersihkan institusi
hukum dari personil nakal dan bermasalah. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan
harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia adalah takut pada
hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat
hukum yang melakukan penyelewengan jabatan dengan mekanisme yang dapat bekerja dan
dapat dipercaya oleh masyarakat.
Fundamen
berikutnya adalah pembenahan pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan
yang terkait dengan manusia. Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara
manusiawi yang sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan
diri mereka yang terkena kebijakan. Bila tidak, akan ada perlawanan. Perlawanan
akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen
dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa
dendam atau perlawanan.
Terakhir,
dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi
publik. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum. Partisipasi
publik harus dilakukan secara bottom up, bila perlu dilakukan secara virtual dan
tidak dirasakan.
Menurut
Dr. Pagar Hasibuan, seorang pakar hukum Islam di Medan, bahwa salah satu cara untuk
mengurangi keberpihakan hukum ini adalah dengan mengusahakan jalan damai bagi pihak-pihak
yang berperkara. Karena dalam perdamaian diharapkan kedua pihak akan saling share
tentang jalan keluar yang akan mereka dapatkan. Teori “keadilan tanpa peradilan”
adalah sebuah teori yang pantas dilaksanakan dari pada peradilan tanpa keadilan,
akan tetapi tentu saja idealnya adalah keadilan dengan peradilan[13].
Masih menurut
beliau, bahwasanya keberpihakan hukum memang akan terus terjadi dan harus terjadi,
akan tetapi keberpihakan ini adalah keberpihakan semua pihak terhadap hukum atau
kebenaran, bukan keberpihakan pihak terhadap kemenangan dan bukan pula keberpihakan
hukum terhadap salah satu pihak atau lebih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum
bertujuan sebagai alat negara untuk menentramkan rakyatnya dari rasa takut dan
dengan demikian menciptakan ketentraman
dan keserasian dalam masyarakat. Sistem hukum Indonesia diarahkan untuk
sebuah kepentingan proyek besar pemerintah yang sering disebut kebijakan
neoliberal. Hal ini diakibatkan oleh sebuah proses pembuatan hukum yang
berjalan tanpa adanya kontrol masyarakat secara luas. Bagi
masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan
persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat
akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam
hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan
secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Dalam melihat peluang untuk munculnya
keberpihakan hukum, kita bisa menganalisa beberapa faktor terkait, seperti
politik hukum, sistem hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
Beberapa
Faktor terjadinya keberpihakan hukum.
1.
Sulitnya penegakan hukum berawal sejak
peraturan perundang-undangan dibuat.
2.
Peraturan perundang-undangan kerap dibuat
secara tidak realistis
3.
Problem muncul karena masyarakat indonesia
terutama yang berada di kota-kota besar merupakan masyarakat pencari
kemenangan, bukan pencari keadilan.
4.
Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan
pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek
korupsi atau suap
Amirrudin dan Zainal Asikin. Pengantar
Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Grafiti Press. 2006.
Baharuddin
Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang 1987) h. 32.
Bismar
Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan (Bndung: Gema Insani Press, 1995) h.
24.
Budiono Kusumohamidjojo. Ketertiban
yang Adil:Problematika Filsafat Hukum. Grasindo: Jakarta. 1999
Drs. H. Malayu, S.P. Hasibuan, 2007.
Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Cetakan 9. PT. Bumi Aksara.
Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981) h. 48. tentang SKP3
Soeharto lihat A. Umar Said, SKP3 Soeharto Tidak Sah, Penuntutan Harus
Dilanjutkan. Artikel dalam www.hukumonline.com, tanggal 15 juni 2006,
didownload pada 11 Desember 2006. sedangkan tentang kasusu keringanan Tommy
Suharto lihat, Jawa Pos, Tomy Suharto Bebas Keluar Negeri, edisi 1 november.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang............................................................................ 1
B. Permasalahan............................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan
hukum.............................................................................. 2
B. Pengertian Kelas dan
Pembentukan Kekuasaan......................... 2
C. Pembuatan Hukum Tanpa
Kontrol Masyarakat.......................... 4
D. Mempertegas Kontrol
Masyarakat.............................................. 5
E.
Peluang
Munculnya Keberpihakan Hukum. ............................... 5
F.
Problem
Dalam Menegakkan Hukum Tanpa Keberpihakan....... 8
G.
Reformasi
Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan Tanpa Keberpihakan. 10
H.
Konsep
Reformasi Hukum.......................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992) h.
142.
[2]
Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan (Bndung: Gema Insani
Press, 1995) h. 24.
[3]
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang 1987) h. 32.
[4]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981) h. 48.
[5]
Ibit.
[6]
Ibid
[7]
Eddy Satria, Reformasi Telah Gagal. Artikel dalam Majalah Forum
Keadilan, edisi 04 Juni 2006.
[8]
Dodik Setiawan, Kondisi Hukum Indonesia.
[9]
Yusuf Leonard Henuk, Kapan Hukum Berpihak Kepada Rakyat
[10]
Ibid.
[12] Budiono
Kusumohamidjojo. Ketertiban yang Adil:Problematika Filsafat Hukum. Grasindo:
Jakarta. 1999
[13] Drs.
H. Malayu, S.P. Hasibuan, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta :
Cetakan 9. PT. Bumi Aksara.
0 comments:
Post a Comment