BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peraturan perundang-undangan di suatu
negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum
di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem
hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri
terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.
Di dalam suatu sistem termuat adanya
berbagai komponen, berbagaikegiatan yang merupakan fungsi dari setiap
komponen,adanya saling keterhubungan serta ketergantungan antar komponen,
adanya keterpaduan(integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada
kawasan di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi
dari semua komponen tersebut mengarah,
berorientasi ke pencapaian tujuan sistem yang telah ditetapkan.
Potensi ketidak harmonisan pembentukan suatu
peraturan sangatlah tinggi, karena terkait berbagai kepentingan
kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa berbagai perubahan,
perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam
ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan RI bahwa
UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet”atau
“UUD ” yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin.
Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah:
"Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,
bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.
Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan
legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya
".
Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat
kajian-kajian tentang legal
draft menyusun
suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di
Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat)
mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan
perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Indonesia dalam penetapan pembuatan
hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan.
Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal
penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan
perundang-undangan. Untuk itu dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”,
dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas,
tujuan dalam makalah ini adalah bagaimanakah keadaan harmonisasi peraturan
dalam perundang-undangan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Besarnya potensi ketidak harmonisan
suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan
perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program
legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan
Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam
Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat
terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan
dalam pasal 17 ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di
luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).[1]”
Ketentuan ini kemudian digunakan secara bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah
untuk melakukan pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar
Prolegnas.
Maksud dari pengharmonisasian
peraturan perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan,
menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih
tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan
perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi
dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan
“Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”[2].
Dengan ketentuan tersebut, peran
Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan menjadi semakin penting,
karena Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu
unit eselon II di lingkungan Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang
ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi tidak hanya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja,
tetapi juga terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(RPERPU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan
Presiden (RPERPRES).
Terhadap peraturan perundang-undangan
yang disampaikan oleh pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat
pengharmonisasian. Rapat pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing
subdirektorat sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di sini diperlukan tenaga yang
terampil dan handal atau ahli dalam melakukan pengharmonisasian terkait dengan
berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Harmonis diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai)
harmoni; seia sekata. sedangkan mengharmoniskan diartikan menjadikan harmonis,
Pengharmonisan adalah proses, cara, perbuatan mengharmoniskan. Dan Keharmonisan
diartikan sebagai perihal (keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian[3].
Badan Pembinaan Hukum
Nasional Depkumham, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan
ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian
(penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada
nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis. Dari pengertian
tersebut di atas dapat diartikan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan
adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan
sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai
tujuan hukum. Sebagaimana telah dibahas di awal, harmonisasi peraturan
perundang-udangan mempunyai arti penting dalam hal peraturan perundang-undangan
merupakan bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu Negara
sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat saling terkait dan
tergantung serta dapat membentuk suatu kebulatan yang utuh. Di Indonesia sistem
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam konstitusi yakni
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang- Undang.
Selanjutnya dalam Pasal 22
A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata
cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan
ini ditindaklanjuti dengan pemebentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur mengenai
sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis[4].
Hierarki tersebut dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal sebagai berikut:
Pasal 2, yang berbunyi:
“Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara”
Pasal 3 ayat (1), yang
berbunyi:
“Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan”.
Pasal 7 ayat (1), yang
bebunyi:
“Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.”
Pasal 7 ayat (4), yang
berbunyi:
“Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”
Dengan pengaturan tersebut
di atas terlihat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar
ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-niai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya Undang-Undang
Dasar tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar merupakan
norma dasar bagi norma-norma hukum dibawahnya.
Hirarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut di atas. Hirarki atau tata urutan peraturan
perundangundangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7
ayat (5), yang berbunyi:
“Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”
Dengan ketentuan ini maka
telah jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari masing-masing
peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh
mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat
merinci dan melaksanakan peraturan perundangan di atasnya.
Dalam hal ini berlaku asas lex
superiori delogat legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan
perundang-undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan
perundangundangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu
Undang-Undang, ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Presiden tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam suatu Peraturan Pemerintah dan
seterusnya. Pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu
peraturan perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal inilah yang disebut
dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni
harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan
lain dalam hierarki yang berbeda[5].
Arti penting harmonisasi
vertikal peraturan perundang-undangan ini adalah bahwa dalam sistem hukum
Indonesia peraturan perundangundangan tersebut dapat diuji oleh kekuasaan
kehakiman.
Pasal 24 c Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”
Pasal 12 ayat (1) a
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Jo. Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a. menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Pasal 24 A ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menyatakan:
“Mahkamah agung berkenan
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undangundang”
Pasal 11 ayat (2) Huruf b
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman,
menyatakan:
“Mahkamah Agung mempunyai
kewenangan: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang[6]”
Dengan pengaturan
sebagaimana tersebut di atas maka suatu undang-undang dapat dimintakan Judicial
Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Konstitusi sedangkan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dimintakan Judicial
Review atau pegujian yudisial kepada Mahkamah Agung jika di dalamnya
terdapat suatu ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang secara hirarki lebih tinggi. Terhadap undangundang
apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di
dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
maka Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan
yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap. Begitu pula
dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang apabila Mahkamah
Agung berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang
bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat
mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan
menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap.[7]
Dalam hal inilah
harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan mempunyai peranan penting.
Selain berfungsi membentuk peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan
tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal
peraturan perundangundangan berfungsi sebagai tindakan preventif guna
mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan
karena jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam kerugian baik dari
segi biaya, waktu, maupun tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-undangan
tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang tidak sedikit, dari
segi waktu proses penyusunannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan
dapat memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan
koordinasi dari pembuat peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan adanya proses
harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan yang baik maka potensi
berbagai kerugian di atas dapat dicegah. Di samping harmonisasi vertikal
tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus
diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat. Jenis
harmonisasi ini disebut dengan Harmonisasi Horinsontal peraturan
perundang-undangan. Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior
delogat legi priori yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan
yang baru mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama
dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu
peraturan perundangundangan yang bersifat khusus mengenyampingkan/ mengalahkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Harmonisasi Horisontal
peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua asas tersebut sangat penting
artinya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan pada
hakikatnya suatu peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengaturan yang
lintas sektoral dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam peraturan
perundang-undangan tersebut terdapat berbagai sektor dan bidang hukum yang
berbeda-beda namun saling kait mengkait dan terhubung satu sama lain sehingga
dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif, bulat dan utuh.[8]
Pembentuk peraturan
perundang-undangan dalam hal ini perlu berkoordinasi dengan insatansi yang
terkait dengan substansi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersebut. Jika proses Harmoisasi Horisontal peraturan perundang-undangan ini
gagal dilaksanakan maka akan tercipta kondisi tumpang tindihnya antar sektor
dan bidang hukum dalam sistem hukum suatu negara. Kondisi ini akan berdampak
sangat masif dan berbahaya karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan
ambiguitas dalam penerapan peraturan perundang-undangan tesebut yang pada
akhirnya menggagalkan tujuan hukum untuk mengabdi pada tujuan negara yakni
menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya[9].
Harmonisasi Horisontal
peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan berdasarkan asas Lex
Posterior Delogat Legi Priori terhadap suatu peraturan perudang-undangan
yang berada dalam hierarki yang sama dan sederajat dan dalam prakteknya diatur
dalam ketentuan penutup pada suatu peraturan perundang-undangan. Dalam
ketentuan penutup suatu peraturan perundang-undangan diatur status peraturan
perundang-undangan yang sudah ada apakah dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau dinyatakan tidak berlaku sama sekali. Ketentuan ini
sangat penting guna mengatur dan menata berbagai aspek dan bidang hukum yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tidak terjadi
dualisme pengaturan suatu aturan hukum yang sama dalam beberapa peraturan
perundang-undangan[10].
Sedangkan penerapan Lex
Specialist Delogat legi Generalis dalam Harmonisasi Horisontal diperlukan
guna membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk dan
karakteristik khusus dan berbeda (sui generis) dengan peraturan
perundang-undangan yang lain guna mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh
adalah bentuk pengaturan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. Meskipun LPEI melaksanakan kegiatan
pembiayaan, penjaminan, dan asuransi, namun dalam undang-undang tersebut diatur
secara khusus bahwa LPEI sebagai lembaga khusus (sui generis) secara
kelembagaan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang perbankan,
Badan Usaha Milik Negara, lembaga pembiayaan atau perusahaan pembiayaan, dan
usaha perasuransian[11].
Namun, dalam menjalankan kegiatan usahanya, LPEI tunduk kepada ketentuan
materiil tentang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi sebagaimana diatur dalam
Bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
pinjam-meminjam, Bab Ketujuh Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang penanggungan utang, dan Bab Kesembilan Buku Kesatu Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang tentang asuransi atau pertanggungan. Pengaturan ini
dibentuk guna memberikan sifat dan karakter yang khusus kepada LPEI agar dapat
bergerak lebih fleksibel dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
undang-undang tersebut yakni untuk menunjang program pemerintah dalam rangka
mendorong program ekspor nasional. Akan tetapi betapapun perlunya suatu
pembentukan peraturan perundangundangan yang bersifat khusus guna mencapai
tujuan tertentu, hendaknya perlu diperhatikan agar pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut tetap berada dalam suatu kesatuan sistem hukum yang
ada. Hal ini penting, mengingat peraturan perundang-undangan merupakan sub
sistem dari suatu sistem hukum serta guna menjamin agar suatu peraturan
perundang-undangan dapat kompatibel masuk ke dalam sistem hukum sehingga tidak
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut[12].
Di samping kedua jenis
harmonisasi di atas ketentuan peraturan perundang-undangan juga harus
diharmonisasikan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan
perundang-undangan.
Menurut Hamid S. Atamimi
asas pembentukan peraturan perundang undangan
yang baik ialah asas hukum
yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam
bentuk dan susunan yang sesuai bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat,
dan bagi proses dan prosedur pembentukan yang telah ditetapkan[13].
Menurut Van der Vlies
sebagaimana dikutip oleh Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas
pembentukan peraturanperundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk
regelgeving)[14],
yaitu asas formal dan asas
material.
1. Asas-asas formal
meliputi:
a. Asas tujuan jelas;
b. Asas lembaga yang tepat;
c. Asas perlunya
pengaturan;
d. Asas dapat
dilaksanakan;dan
e. Asas Konsensus.
2. Asas-asas material meliputi:
a. Asas kejelasan
Terminologi dan sistematika;
b. Asas bahwa peraturan
perundang-undangan mudah dikenali;
c. Asas persamaan;
d. Asas kepastian hukum;dan
e. Asas pelaksanaan hukum
sesuai dengan keadaan individual.
Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan asas peraturan perundangundangan
dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu:
1. Asas Pembentukan
Peraturan Perudang-undangan yang baik (Pasal 5):
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis
dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan[15].
B.
Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Potensi
ketidak harmonisan pembentukan suatu peraturan sangatlah tinggi, karena terkait
berbagai kepentingan kelompok,politik, dan sosial masyarakat yang akan membawa
berbagai perubahan, perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang
penting dalam ketatanegaraan Indonesia dimana UUD 1945 sebagai dasar negara
kesatuan RI bahwa UUD 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet” atau “UUD ”
yang disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin. Suatu
negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah:
"Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,
bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi. Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan
atas hukum (rechtsstaat) yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif,
eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya ". Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian
tentang legal draft menyusun suatu peraturan perundang-undangan
dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang
berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya
supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan
bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau
pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan
ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke
dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan
perundang-undangan”, dalam pembahasan dibawah ini akan sedikit memberikan
konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Harmonisasi
dalam Kamus Ilmiah Populer di definisikan sebagai pengharmonisan, penyelarasan,
dan penyerasian. Korelasi kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam
hal ini adalah pembuatan peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan
perundang-undangan yang di draft (di rancang/di naskah) harus sesuai, selaras
dengan aturan-aturan pembuatannya, yang meliputi pada asas-asas perundang-undangan,
khususnya pada asas tingkat hirarki, lex specialis derogat lex generalis,
lex posterriori derogat lex priori, dan sebagainya.
C. Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Sinkronisasi
merupakan salah satu langkah untuk melihat suatu peraturan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut
vertikal atau hierarki peraturang perundang-undangan yang ada.
Adapun
bentuk hierarki peraturan perundang-undangan adalah:
1)
Undang-undang Dasar 1945.
2)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
3)
Undang-undang.
4)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5)
Peraturan Pemerintah.
6)
Keputusan Presiden.
7)
Peraturan Daerah.
Dengan
memperhatikan hierarki di atas maka untuk menciptakan atau merancang suatu
peraturan perundangan harus sesuai dengan sistematika tersebut agar terciptanya
peraturan perundangan yang harmonis.
D. Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar Perundang-undangan.
Dalam
pembuatan Peraturan Perundang-undangan, untuk terealisasikan sistem yang
harmonis maka perlu diperhatikan tata hukum nasional yang baik, yang
diantaranya:
1) Sumber dasar hukum yaitu Pancasila
1) Sumber dasar hukum yaitu Pancasila
2)
Cita-cita hukum nasional
3)
Politik hukum nasional
4)
Pertingkatan hukum nasional
5)
Mekanisme pengembangan hukum nasional
6)
Lembaga yang menangani hukum nasional
7)
Kesadaran hukum masyarakat.
Dari
tujuh poin di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa tata hukum nasional yang
baik adalah hukum yang berlandaskan akan tiga landasan dasar , yakni:
1.
Landasan Filosofis
Landasan ini dapat ditemukan pada sumber
dasar hukum, yakni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila),
dan cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan
keadilan).
2.
Landasan Yuridis.
Landasan ini dapat ditemukan pada
pertingkatan hukum nasional, mekanisme pengembangan hukum nasional dan
lembaga yang menangani hukum nasional. Jadi, landasan yuridis ini adalah landasan
yang menuntut adanya persyaratan formal, tidak bertentangan (sesuai) dengan
aturan yang berlaku di Indonesia secara sah.
3.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang
harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam
poin di atas dapat ditemukan pada politik hukum nasional dan kesadaran hukum
masyarakat. Dari paparan di atas telah jelas, bahwa harmonisasi peraturan
perundang-undangan akan dapat terealisasikan ketika sesuai dengan sistem
konstitusi yang dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, UUD 1945 adalah bentuk
peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan perundang-undangan bawahan dalam negara, dan sesuai pula
dengan prinsip Negara Hukum, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus
berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.
Harmonisasi
peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan
perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang berbentuk
vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan
yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara
peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan
yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas (PP Nomor 68
Tahun 2005).
Dengan
demikian pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan harmonisasi
peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga landasan atau
dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis,
landasan yuridis, dan landasan sosiologis, dengan ketentuan tersebut peran
Direktorat Jenderal Harmonisasi PP merupakan salah satu unit Eselon 1 yang
ditugaskan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan dan
keserasian dan keselarasan rancangan peraturan perundang-undangan tetapi juga
terhadap rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden.
Terhadap
peraturan perundang-undangan yang disampaikan pemrakarsa dilakukan penjadwalan
untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian, dimana diperlukan tenaga
pengharmonisasian terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang
sedang dirumuskan yang menjadi tanggung jawab tugas dan fungsi pelaksanaan
pekerjaan dari unit instansi yang ditanggung jawabkan pelaksanaan pekerjaan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
Peraturan perundang-undangan di suatu
negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum
di negara tersebut.Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem
hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri
terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.
Besarnya potensi ketidak harmonisan
suatu peraturan perundang-undangan disebabkan karena begitu banyaknya peraturan
perundang-undangan di negara kita. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program
legislasi nasional yang diajukan setiap tahunnya terus bertambah sedangkan
Badan Legislasi dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 RUU dalam
Prolegnas 2005-2009. Namun dalam perkembangannya kebutuhan hukum masyarakat
terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Hamid S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida
Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan.Yogyakarta : Kanisius. 2007
Fatimah, Siti, 2008. Perkuliahan Hukum Tata Negara,
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan.
Yogyakarta. Kanisius
Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap,
Yogyakarta: Absolut, 2003.
Ruchiyatun, 2009. Materi Legal Drafting; Landasan/ Dasar
Peraturan Perundang-undangan.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17
ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR
ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3
A.
Harmonisasi
Peraturan Perundang-Undangan................... 3
B. Pentingnya
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan 10
C.
Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan .
Perundang-undangan......................................................... 11
D.
Tata
Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar
Perundang-undangan......................................................... 11
BAB III
PENUTUP............................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 pasal 17 ayat (3) tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
[2] Ibid
[8]
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi:
Serpihan Pemikiran Hukum Media dan HAM. Konstitusi Press: Jakarta, 2005.
[9]
ibid
[10]
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimilki Dalam Sistem
Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
[11] Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009
[13] A.Hamid
S. Attamimi. Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu
Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.Yogyakarta : Kanisius.
2007
[14] ibid
[15]
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004