BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama
dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau
diteliti ; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam
pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa
menolak anggapan adanya kemumgkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan
nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini
dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan
agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang
dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan
kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi
pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian metodologi studi islam dan ruang lingkupnya?
2.
Apa saja pendekatan-pendekatan dalam metodologi studi islam?
3.
Apakah arti islam sebagai objek kajian?
4.
Apakah pengertian dari islam normative dan islam historis?
C.
Tujuan
Tujuan yang ingin diketahui dalam makalah ini yaitu:
1.
Mengetahui pengertian metodologi studi islam dan ruang
lingkupnya.
2.
Mengetahui apa saja pendekatan-pendekatan dalam metodologi
studi islam.
3.
Mengetahui pengertian islam sebagai objek kajian.
4.
Mengetahui pengertian dari islam normative dan islam
historis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian metodologi
studi islam dan ruang lingkupnya
1.
Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode
berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu
ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan
sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode
adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode
biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa
metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik
riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya
berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu,
metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received)
tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian
tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada
perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya
dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara
kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari
sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah-
langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan
ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa
digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative,
historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam
mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya
juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari
secara teoritis bukan praktis.
2.
Ruang lingkup studi
Islam:
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi
sisi:
a.
Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para
pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
b.
Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi
kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap
doktrin agamanya.
c.
Sebagai interaksi social, yaitu realitas umat Islam.
Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi
islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin
merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak
memerlukan penelitian didalamnya.
B.
Pendekatan-pendekatan
dalam metodologi studi islam
Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif diberbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekadar menjadi lambang kesalehan
atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional
menunujukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Adapun pendekatan
yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), namun cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama.
Diketahui bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak
dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik,
ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai
pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai
dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali
dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Alqur’an yang merupakan sumber ajaran
Islam, misalnya dijumpai ayat- ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan
anatomi tubuh manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan
ilmu anatomi tubuh manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat- ayat yang
berkenaaan dengan masalah tanaman dan tumbuh- tumbuhan jelas memerlukan bantuan
ilmu pertanian.
Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita
perlu mengetahui dengan jelas pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam
memahamai agama. Hal ini perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut
kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya
tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi
sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat
mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Untuk lebih jelasnya pendekatan tersebut dapat kita pelajari sebagai berikut:
1.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia
yamng menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup
bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan
hidup manusia.
Harus ditegaskan disini bahwa orang yang pertama kali
menggagas sekaligus memperaktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru
yang mandiri adalah ibn khaldun. Namun, sebagian besar sosiolog memandang
kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui karl
max dan august comte sebagai seorang yang yang paling berjasa bagi disiplin
ilmu sosiologi.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama
lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat.
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam
dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian kategori-kategori
sosiologis, meliputi:
a.
Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
b.
Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga
masa kanak-kanak dan usia
c.
Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis,
sistem-sistem pertukaran dan birokrasi.
d.
Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup,
interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Dalam al-quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan
realitas tertinggi yang menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima
selainnya. Namun disisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima
kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum waliyaddin).
2.
Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu
yang membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan lain
sebagainya.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan
berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam kontek ini Kuntowijaya
telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam
menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia sampai pada
kesimpulan bahwa dasarnya kandungan Al-qur’an itu menjadi dua bagian. Bagian
pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empirism dan
mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau
keselarassan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dalam
empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena Agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
3.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai
salah satu upaya dalam memahamai agama dengan cara melihat wujud praktek
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui perndekatan ini
agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi
manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik golongan masyarakat yang kurang mampu pada umumnya lebih
tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang mesianis, yang menjanjikan
perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih
cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara
ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agamayang berada pada
daratan empiric akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa
ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat
hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi dimasyarakat.
Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa
agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos
kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaan. Selanjutnya
melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya
dengan mekanisme pengorganisasian.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi adalah
modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa prakyik-praktik sosial harus
diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang
berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para
antropologis harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan
dan politik, magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama tidak bisa
dilihat sebagai system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik
sosial lainnya.
4.
Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah
jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah
terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar
tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah
bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini
seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan
diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke
dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Label “psikologi agama”
seolah menunjukan bahwa bidang ini merupakan cabang psikologi yang concern
dengan subjek agama, sejajar dengan psikologi pendidkan, atau psikologi
olahraga, atau psikologi klinis. Akan tetapi kenyataanya, psikologi agama
berada di bagian luar mainstream psikologi.
C.
Studi Islam Dalam Peta Kajian Ilmiah
Pembelajaran ilmu agama Islam berusaha mendudukkan Islam sebagai objek
studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara
analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis.
Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan
keagamaan agar terbangun sikap dan
perilaku yang memiliki komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap
Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan
keIslaman yang dimilikinya.
Studi Islam pada peta kajian ilmiah
adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah, khususnya
dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam
pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau
pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap,
yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai
wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran
atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang
diakui sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist,
Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang
untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul
wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan
sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang
sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir,
yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang
sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam
pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu
pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah
bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi
persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di
observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan
interdisipliner.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja,
kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis
dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat
keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah
memenuhi syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan
peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa
mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih
objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan dan kajian peristiwa kehidupan sebagai laboratorium studi Islam pada gilirannya akan terjadi proses internalisasi
nilai-nilai agama keimanan dan akidah
untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi
dalam diri seseorang menjalankan
dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam dirinya.
Meski demikian, beberapa kendala
menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada
beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka
itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam
yang memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada
umumnya, misalnya kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa
mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat
keilmiahan intersubjektif.
Selain itu, bagi para pengkaji Islam
yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek terdapat
keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut
memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain,
seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan
dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil
dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan.
Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian
tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan, khususnya
dalam pemahaman sejarawan Barat. Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah
karena kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan
kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber
pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis
harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya
tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian
keIslaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga
tataran objek kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau
pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan
bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.
D.
Tujuan Mempelajari Metodologi
Studi Islam
Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan
ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak
dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian,
studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit.
Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu
pengetahuan.
Islam sebagai agama tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan
tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti ekonomi, sosial, budaya,
dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan
Islam masa awal ajaran Islam telah mengalami perkembangan, terkait erat
dengan persoalan-persoalan historis kultural. Perkembangan tersebut dapat
diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara
wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek sosial
keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama dan
wilayah sosial dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri menjadi
tidak jelas.
Studi Islam yang dilakukan oleh
kebanyakan sarjana-sarjana Barat nonmuslim disebut Islamic Studies. Islam bukan
lagi sebagai otoritas mutlak bagi umat pemeluknya dalam pengkajiannya, namun terbuka bagi kalangan mana saja untuk melakukan kajian Islam, baik secara
selintas maupun mendalam.
Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat
dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh
ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk terkait “agama” dengan berbagai
“kepentingan” sosial kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan
agama.
Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H
sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang
merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan misinya sebagai agama
rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan bagian penting
dalam sejarah peradaban dunia.
Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah
metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan
dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif adalah tidak
menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam,
khususnya di Indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen
pemikiran. Jadi kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan
materi namun pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.
Kedua, ada anggapan bahwa studi
Islam dikalangan ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah,
memasuki ke studi kawasan filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dan
sebagainya. Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan
karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana
mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari
agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara
normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi
atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam
konteks saat ini. Selain itu, untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat
campur aduk tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan
mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya
tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep
kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
E.
Manfaat Mempelajari Metodologi
Studi Islam
Dengan mempelajari metodologi studi Islam memberikan ruang dalam
pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap
bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted, hal ini
didasari atas adanya pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan,
salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh
keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu, baik karena keyakinan akan
ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat
kaya dan menakjubkan, seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam untuk
melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan
kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan.
Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang
disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia
tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa
melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah
dunia yang kita huni hari ini. Mengimbangi alur pemikiran keagamaan
seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat
teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat
bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat.
Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan.
Menurut Amin Abdullah,” ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama,
pemikiran teologis menekankan perlunya personal commitment terhadap ajaran
agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama
tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela
berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa”
yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau
peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama
berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya untuk dapat mendialogkan ilmu
humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu
humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu
menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.
E.
Objek
Pembahasan Metodologi Studi Islam
Islam
sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong.
Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi
dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas
tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka tentang standar nilai
dan moralitas.
Dalam
perjalanan panjang Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akibat
adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama,
ulama, pemikir-pemikir Islam. Menurut pendapat tokoh agama pada istilah
wahyu ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika
membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu
al-Qur’an mengalami perkembangan tidak hanya tekstual tetapi memahami
wahyu al-Qur’an secara kontekstual. Oleh sebab itu, obyek kajian dalam Islam
tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental namun membahas hal lain yang
menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam
studi Islam :
a)
Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas
keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa
umat beriman ke dalam suatu konteks global.
b)
Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek
penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen
berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi
(upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan
tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan
tokoh-tokoh-tokoh besar seperti Yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha.
Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak, dan
signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
c)
Etika, seluruh tradisi memiliki keinginan
mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan
semua menyepakati persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan,
mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi
monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi
timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
d) Keterliban
sosial dan politis, komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam
masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi
dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam
agama-agama primal.
e)
Kajian teks dan kitab suci, termasuk mite atau
sejarah suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan
mengesampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab
sebagai suatu canon (peraturan-peraturan
f)
Konsep atau doktrin
g)
Estetika, dalam tingkat akar rumput di sepanjang
sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di Tajmahal dan
permadani di Persia
h)
Spiritualitas yang menekankan sisi dalam batin dari
agama. Spritualitas muslim dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya
dalam berbagai cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih
tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai
ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadits kepada puisi yang
mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” tuhan,
isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai
cara yang berbeda pula.
F. Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang
menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu
kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni al-Quran dan al-Hadits.
Orang yang memeluk agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak
menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam
konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian
tentang arti Islam itu sendiri. Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam
masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap al-Quran dan al-Hadits sehingga timbullah
pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai
agama, pemikiran atau penafsiran al-Quran dan al-Hadits juga sebagai objek
kajian sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks
mengenai nilai dan konsep yang abadi, hidup dan realistis sehingga memberikan
karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total,
maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
Islam disebut sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan
yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang
kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu
wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau
mentransformasikan doktrin esensialnya. Ajaran Islam yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap
dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia
baru menjadi bentuk.
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji
dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan
berbagai aspeknya maka dalam proses dan bentuknya kemudian Islam dapat
dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa
yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits (tekstual dan skriptual)
tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan
nilai-nilainya.
Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran dilibatkan dalam proses
memahami dan mengaktualisasikannya dalam sejarah pemikiran Islam terpotret
bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan
terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang
melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti
teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadits, ilmu-ilmu syariah dan
sebagainya. Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang
dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang
melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.
Selanjutnya Islam
sebagai objek kajian senantiasa
menarik seiring dengan
berkembangnya pendekatan, disiplin ilmu
dan metodologi. Oleh karena itu pengkajian Islam yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam baik dari kalangan sarjana muslim sendiri
maupun maupun sarjana Barat tidak akan
berhenti. Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih merupakan kedinamisan Islam dan masyarakatnya,
dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat muslim dalam
mengaktualisasikan ajaran-ajarannya,
kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi karena ingin memberikan tantangan Islam dari
kalangan kontemporer.
G.
Islam Normatif Dan Islam Historis
Islam normatif adalah Islam pada dimensi sakral yang diakui adanya
realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan
waktu atau sering disebut realitas ketuhanan. Kajian Islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqih,
tasawuf, filsafat sebagai berikut:
1.
Tafsir:
tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
2.
Teologi :
tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3.
Fiqh :
tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
4.
Tasawuf:
tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada tuhan
5.
Filsafat:
tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran
Islam
historis adalah Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks
kehidupan pemeluknya. Oleh
karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ketuhanan. Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada
konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka
berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang
muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum
Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru
menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi,
dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai barometer dalam menilai
segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.
Islam
historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran
manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada
tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya
problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini
harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi
problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang
kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu
pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi
kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan
dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut
historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil
sebagai sebuah disiplin ilmu. Kajian Islam historis melahirkan disiplin ilmu
studi empiris yaitu antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama.
a.
Antropologi
Agama: disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam
hubungannya dengan kebudayaan.
b.
Sosiologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari sistem relasi
sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
c.
Psikologi
Agama:disiplin ilmu yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya
dengan agama.
Hubungan antara ketiganya dapat membentuk hubungan dialektis dan
ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog bolak balik yang saling
menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan
jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman. Menentukan
bentuk hubungan yang pas antara historis dan disiplin studi empiris merupakan
separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan
tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling
menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada
pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Menurut ijtihad, Amin Abdullah bahwa hubungan antara historis dan disiplin studi empiris
adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak
dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan
keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya
teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam
satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Walaupun secara realitas studi Islam
keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih
terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan
ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu
pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak
dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah mengatakan jika
penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah
Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan
kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku
kuliah.
Merespon
sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan
scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories.
Pada tataran normative kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai
disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran histories nampak relevan
BAB III
KESIMPULAN
Menurut bahasa (etimologi), metode
berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu
ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah
ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa
digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode
adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Pendektan antropolgi sangat dibutuhkan
dalam memahami ajaran agama, karna dalam ajaran agama terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.
Sejarah atau histories adalah suatu
ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur
tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atho Mudzahar, Pendekatan
Studi Islam, yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007
Fanani , Muhyar, Metode Studi Islam,
aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)
Partanto, Pios A M. dahlan al barry, Kamus
Ilmiyah Populer, (Surabaya : penerbit arkola, 1994
Conolly , Peter, Aneka pendekatan studi
agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002).
Atang, abd.hakim & Jaih Mubarok.
Metode studi islam.(Bandung: remaja rosdakarya 2009).
Kimia,tadris, Metodologi Studi Islam
2008. (Semarang : takimia production,2010
Nata, abbudin, metode studi islam,(
Jakarta: Raja grafindo persada 2004
Mukti Ali. Metode
Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1999). h 25
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Rajagrafindo 2009) h.
284
Jamali Sahrodi, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008)
h 180
Amin
Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h 50
Jackues
Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji, Peta Studi Islam
(Yogyakarta: Fajar Baru , 2003) h 3
0 comments:
Post a Comment